Pola Pemberdayaan Zakat, Infak dan Sadaqah
Berbasis Masjid
By. Idris Parakkasi
A.
Pendahuluan
Umat Islam meyakini, bahwa zakat adalah
pilar ketiga dari lima pilar agama Islam. Sebagai sebuah pilar, keberadaannya
merupakan sesuatu yang harus ada dan harus dilakukan oleh umat Islam. Islam
memandang, bahwa pentingnya zakat untuk ditunaikan tidak lebih kecil
dibandingkan dengan keharusan menjalankan ajaran-jaran Islam yang lain. Bahkan,
dengan dimasukkannya sebagai salah satu dari pilar Islam yang lima ini (Hadis
Rasulullah tentang rukun Islam) menunjukkan bahwa ajaran zakat merupakan ajaran
kunci bagi umat Islam.
Zakat adalah institusi pemberdaya
masyarakat yang ditopang oleh nilai-nilai spiritualitas. Spiritualitas yang ada
di belakang zakat semestinya memberikan inspirasi keihlasan bagi orang-orang
Islam yang mempunyai harta berlebih untuk memberdayakan orang-orang yang secara
ekonomi tidak diuntungkan. Dari sini akan muncul social responsiblity dari masyarakat mampu terhadap masyarakat
kurang mampu. Maka, zakat akan memiliki dampak besar bagi kesejahteraan umat.
Pesan-pesan agama bagi kesejahteraan umat akan benar-benar terwujud.
Akan tetapi, seolah bertentangan dengan
gagasan idealnya, pengaruh zakat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat
belum banyak bisa dirasakan. Zakat hanyalah sebatas kewajiban rutin yang seolah
tanpa semangat pemberdayaan, sehingga belum mampu menjadi salah satu instrumen
pemberdayaan masyarakat yang benar-benar efektif. Idealitas ajaran zakat
sebagaimana yang kami singgung di depan hanya ada dalam teori yang jauh dari
realitas.[1]
Kondisi tersebut tentunya mengundang tanya
bagi umat Islam umumnya, dan para pemerhati zakat pada khususnya. Sebenarnya apa
yang salah dengan pengelolaan zakat oleh umat Islam Indonesia saat ini? Tulisan
ini mencoba ingin mendiskusikan beberapa hal yang terkait dengan problematika
pengelolaan zakat. Beberapa hal yang layak untuk mendapatkan perhatian dan
menjadi fokus tulisan ini diantaranya; pertama reorientasi terhadap
pemahaman epistimologi zakat; yaitu berusaha untuk mendiskusikan bilamana
kewajiban zakat diperintahkan. Preseden sejarah pada masa formulasi Islam perlu
dihadirkan untuk melihat semangat zakat ketika itu. Dari pembahasan ini
diharapkan ditemukan semangat zakat sebagai sebuah institusi keagamaan yang
tidak hanya sekedar mementingkan pembayarannya si kaya, namun semangat
pembebasan di balik kewajiban tersebut.
Kedua, Reorieantasi terhadap pengelolaan zakat. Sudah
umum diketahui bahwa saat ini pengelolaan zakat seolah kehilangan rohnya. zakat
dikelola hanya dengan mengedepankan aspek keharusan seorang individu
membayarnya, tanpa dibarengi cara yang paling tepat (baca: sistem pengelolaan)
agar dana zakat menjadi efektif sebagai sebuah instrumen pemberdayaan umat.
Sehingga tidak mengherankan, jika saat ini zakat hanya bersifat konsumtif yang
menyebabkan si mustahik tetap sulit membebaskan diri dari keterpurukannya. Di
samping ada ”kesalahan” dalam sistem pengelolaannya, juga patut dipertanyakan
ulang tentang lembaga amil yang berfungsi sebagai lembaga yang paling
bertanggungjawab terhadap pengumpulan dan penyaluran zakat. Saat ini masih
banyak terjadi di masyarakat bahwa pengertian amil adalah sekumpulan orang-orang
yang diangkat oleh masyarakat sebagai sekelompok panitia zakat yang mempunyai
daya gerak yang sangat sempit. Sebagai sebuah panitia, mereka tidak memiliki
program kerja, tidak memiliki target-target tertentu, tidak memiliki sistem
yang mengatur mekanisme kerjanya dan lain-lain. Untuk itulah, seiring dengan
dinamika zaman, perlu dilakukan dekonstruksi terhadap keberadaan amil yang
tidak efektif seperti diatas.
Ketiga, Reorientasi Harta zakat; tidak dapat dipungkiri
lagi, bahwa kurang maksimalnya penarikan
dana zakat banyak dipengaruhi oleh pendapat bahwa zakat hanya diberlakukan
untuk harta-harta tertentu, dengan alasan tidak terbahasnya kewajiban zakat
terhadap harta-harta yang diperoleh dengan cara kontemporer dalam kitab-kitab
klasik. Padahal justru saat ini, harta - harta yang diperoleh dengan cara
kontemporer ini justru jauh lebih besar potensinya. Maka, sudah selayaknya jika
zakat dikenakan terhadap segala bentuk kekayaan yang memiliki nilai tambah,
agar zakat tidak terkesan sebagai sekedar uluran tangan orang yang telah
memiliki sejumlah harta tertentu.
Saat ini, dari 6.710.719.000 jiwa penduduk bumi, 228.523.300
jiwa diantaranya hidup di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia tersebut
merupakan ke-4 terbanyak setelah jumlah penduduk Cina, Amerika Serikat, dan
India. Jadi secara populasi, Indonesia merupakan Negara ke-4 terbesar di dunia.
Dari jumlah penduduk Indonesia di atas, 88% diantaranya adalah penduduk muslim.
Dengan asumsi jumlah penduduk per rumah tangga adalah 3,7 orang, maka
diperkirakan jumlah rumah tangga muslim saat ini adalah 52.828.649 rumah
tangga. Pada saat yang sama, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan
Maret tahun 2009 berjumlah 31,29 juta jiwa. Secara proporsional, angka
mayoritas jumlah penduduk muslim sekaligus mewakili jumlah penduduk miskin di
Indonesia. Data diatas seutuhnya diutarakan oleh “Tuan Rumah” sendiri, artinya
data diatas dibuat oleh lembaga dalam negeri, yang mungkin hasilnya bisa
dipesan dan diperintahkan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk dijadikan
dalih kinerja mereka yang membanggakan. Hal ini dikarenakan data kemiskinan
bangsa Indonesia menurut World Bank (Bank
Dunia) sangat berbeda drastis dengan BPS, World Bank menyebutkan bahwa angka
kemiskinan di Indonesia mencapai 114 Juta jiwa (65 persen dari keseluruhan
penduduk negeri ini). Dan ini terjadi selisih 81,47 juta jiwa antara data BPS
dengan Bank Dunia. Merujuk data diatas, tidak dielakkan lagi bahwa angka
kemiskinan bangsa ini sangatlah tinggi, sungguh ironis dengan potensi Sumber
Daya yang di milki bangsa ini. Lantas bukan berarti diam dan berpangku tangan
untuk menunggu semuanya kepada suatu yang diingingkan bersama. Begitupun
pemerintah (sebagai regulator), mereka di sana bergerak meluncurkan berbagai
program peredam untuk menstabilkan pertumbuhan ekonomi, dari Biaya Langsung
Tunai (BLT) bagi kaum miskin yang sifatnya karitatif sampai insentif stimulus
bagi orang kaya yang sifatnya produktif. Akan tetapi hasil yang didapat
seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan, nyatanya tingkat kemiskinan
masih tinggi yang pada akhirnya masyarakat masih “enggan” mendapatkan
kesejahteraan. Melirik dari fenomena diatas, haruslah muncul suatu
strategi/konsep yang keluar dari masrakat itu sendiri. Istilah pemberdayaan
yang senantiasa menjadi jargon untuk suatu tindakan yang berbasisi sektor riil
dirasa tepat dalam mengejawantahkan tindakan yang mampu dilakukan oleh
masyarakat. Bentuk pemberdayaan masyrarakat yang ideal seutuhnya adalah skema
pemberdayaan yang didasarkan pada tatanan nilai/norma dalam suatu komunitas,
yang itu semua dapat dibentuk dalam suatu lingkungan yang tepat (Catur : 2008).
Dan masjid (sebagai suatu lingkungan
yang tepat) mampu diijadikan basis dalam melakukan pemberdayaan masyarakat
(umat) untuk mengikis atau mengurangi jumlah tingkat kemiskinan kaum muslimin
di Indonesia. Mengapa harus Masjid? Mungkin
menjadi sutu pertanyaan besar mengapa harus masjid? Masjid senantiasa identik dengan kaum
muslimin, dan kita tahu hampir 90% masyarakat negara ini Beragama Islam, maka tidak aneh secara kuantitas tidak bisa
dielakkan lagi kalau jumlah masjid di Indonesia sangatlah banyak. Menurut data Depag pada tahun 2008, jumlah masjid di Indonesia mencapai 1 juta 7
ratus ribu, itu pun mungkin belum terhitung dengan musholla-musholla kecil lainnya.
Kuantitas yang banyak ini mampu
menggerakkan masyarakat dalam suatu strategi pemberdayaan mikro (memberikan
lapangan pekerjaan, memberikan modal) sampai pada suatu tujuan makro (yaitu
memperkecil skala kemiskinan dalam perekonomian bangsa Indonesia ini). Selanjutnya
dengan berkaca pada sejarah nabi Muhammad SAW bahwa masjid menjadi suatu basis
pergerakkan dalam segala bidang, mencakup bidang pendidikan, keagamaan, sosial,
politik, dan bahkan ekonomi. Menyinggung
dari fakta sejarah diatas, dikhususkan peranan masjid dalam bidang ekonomi,
sepertinya mampu ditiru dan nantinya diterapkan dalam instrument yang disesuaikan
dengan kondisi/situasi umat (masyarakat) pada saat ini.
B.
Permasalahan
1. Sejauh mana peranan lembaga-lembaga
pemberdayaan yang sudah ada
2. Bagaimana model yang paling ideal
untuk diterapkan
C.
Pembahasan
1.
Sejauh mana peranan lembaga-lembaga
pemberdayaan yang sudah ada
A.
Peranan BMT (Baitul Maal wa Tamwil)
.
Jika diinventarisir tidak sedikit diantara masjid yang
memilki koperasi atau BMT sebagai basis pendapatan dana untuk kemakmuran masjid
pada mulanya. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dengan diiringi
permasalahan ekonomi yang kian menguat, telah banyak BMT atau koperasi yang
dikelola masjid ini melakukan ekspansi pasar dengan menyalurkan dana kepada
masyarakat. Akan tetapi sayangnya hal ini belum dapat dilaksanakan dengan
kinerja yang jujur, akuntabel, professional, dan proporsional sehingga yang
terjadi adalah kebangkrutan satu per satu dari koperasi atau BMT yang ada di
masjid tersebut. Sehingga pihak pemberi modal ex : lembaga keuangan perbankan
dan non bank masih sedikit menyalurkan dalan untuk mereka koperasi atau BMT
yang bergerak di suatu masjid. Padahal sesungguhnya terdapat segmentasi pasti
yang terbungkus dalam kantong kemiskinan yang sangat memerlukan dana tersebut.
B.
Peranan LAZ (Lembaga
Amil Zakat)
Wacana tentang zakat sebagai alat
redistribusi kekayaan dalam pengentasan kemiskinan umat sesungguhnya belum
dapat dijalankan secara maksimal. Hal
ini dapat dilihat pada data yang terjadi dengan hitung-hitungan asumsi
semestinya, dan juga dapat dilihat pada
LAZ (lembaga Amil Zakat) dalam sekup kecil, bahwa seutuhnya belum tercapai
keinginan bersama tentang pengelolaan zakat yang efektif, efisien, dan
akuntabel. Efektif dalam hal ini zakat yang diberikan sesuai atau tidak
segmentasi objeknya, sehingga yang
terjadi bukan korban jiwa atau memecah kerukunan. Akan tetapi pengentasan
kemiskinan yang sedikit demi sedikit bisa teratasi, dengan asumsi bahwa yang
hari ini mendapatkan zakat (Mustahik) besok hari dia sebagai Muzakki (orang
yang member i zakat). Masjid dalam hal
ini pasti memilki LAZ (lembaga Amil Zakat) yang bertugas untuk menyalurkan dana
zakat yang dipercayakan pada lembaga masjid tersebut, keberadaan masjid yang
berdekatan dengan kondisi dan situasi masyarakat seyogyanya tahu tentang
kebutuhan dan prosfek dana tersebut. Harapan terbesar ke depan dari proses ini
adalah pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan
C. Lembaga Pendampingan oleh RISMA
(Remaja Masjid)
Pendampingan kepada masyarakat
merupakan salah satu instrument penting dalam menggerakkan masyarakat menjadi
lebih baik. Pemberian motivasi, pembekalan keterampilan, dan pengawasan kinerja
merupakan beberapa hal yang bisa dilakukan dalam proses pendampingan ini. tiga langkah
diatas sesungguhnya telah banyak dilakukan oleh beberapa masjid. Hal ini
dilakukan karena masjid memiliki posisi yang strategis (terutama tahu pasti
tentang keadaan masyarakat sekitar), sehingga tepat jikalau masjid tidak hanya
dijadikan sebagai tempat dalam peribadahan yang mahdoh saja, tapi lebih dalam
dari itu dijadikan tempat dalam permberdayaan masyarakat.
2.
Bagaimana
Model Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid
Masjid merupakan tempat orang berkumpul
melakukan sholat secara berjamaah, dan meningkatkan solidaritas serta
silaturrahmi di antara sesama kaum muslim. Di masa-masa kejayaan Islam, masjid
bukan saja menjadi tempat sholat, tetapi menjadi pusat kegiatan kaum muslim
seperti pemerintahan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan, dan
kemiliteran.
Masjid juga berfungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam
seperti diskusi, mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama serta
pengetahuan umum. Namun, sudahkah peran dan fungsi masjid dapat kita hadirkan
untuk menjawab tantangan umat masa kini? Menurut catatan Departemen Agama,
terdapat sekitar 700.000 buah masjid yang tersebar di tanah air. Bila setiap
masjid dapat membuka lapangan pekerjaan dan memperkerjakan rata-rata 200 orang
per tahun, maka akan ada 140 juta orang yang lepas dari pengangguran per
tahunnya. Sudah saatnya institusi masjid menambah perannya sebagai basis
pendidikan moral masyarakat yang didorong menjadi basis pengembangan ekonomi
masyarakat agar memungkinkan masyarakat memperoleh pendapatan secara lebih halal
dan berkah. Setiap pengelola masjid, didorong untuk menyusun sebuah proposal
pengembangan ekonomi masyarakat sekitar dengan didukung oleh BAZ dan LAZ dari
aspek pendanaan. Tentu saja, pengelolaan secara transparan dan professional,
merupakan prasyarat berjalannya idealisme ini secara berkelanjutan. Kita patut
bersedih dengan jumlah masjid yang besar, tetapi lembaga wakaf dan zakat
sebagai sumber pendanaannya, masih berjalan sendiri-sendiri. Belum lagi, setiap
lembaga ingin menonjolkan dirinya sendiri, menambah rumitnya masalah
masyarakat.
C.1. Fungsi Masjid
Pertama, kondisi riil yang sering
membuat kita terkejut dengan fenomena keterlantaran masjid yang selalu menanti
uluran tangan. Benarkah asumsi bahwa masjid adalah Rumah Allah itu kemudian
menjadikan masjid justru tidak berdaya lantaran manusia yang lepas tangan?
Dalam bagian ini, pembaca juga akan menemukan makna masjid yang sesungguhnya,
masalah-masalah yang dihadapi dan bagaimana pula masjid dalam lintasan sejarah
Islam. Gagasan yang disampaikan pada bab ini meliputi keprihatinan mendalam
jika memperbandingkan fungsi masjid pada zaman Rasulullah dengan masa sekarang.
Ada apa dengan kita?
Kedua, masjid adalah sistem sosial
Islam. Bagaimanapun, karena berhubungan dengan kebutuhan spiritual dan ekspresi
keagamaan, masjid kemudian menjadi salah satu instrumen sosial dalam kehidupan
umat Islam. Oleh karenanya, masjid sebagai salah satu pranata sosial Islam
lebih ditekankan pada ketimpangan yang terjadi antara fungsi masjid yang
seharusnya dengan apa yang terjadi senyatanya.
Ketiga, Jika dilihat dari fungsi masjid
itu sendiri, paling tidak, kita akan menemukan fungsi-fungsi masjid ada 7
(tujuh) fungsi antara lain; sebagai tempat shalat, sebagai tempat untuk
menjalankan fungsi sosial-kemasyarakatan, fungsi politik, fungsi pendidikan,
fungsi ekonomi dan fungsi pengembangan seni dan budaya yang bernuansa Islam.
Keempat, masjid pada zaman sekarang,
dapat dikategorikan—bukan didasarkan pada pengkelasan—berdasarkan pada wilayah
lingkungan masjid. Diantara beberapa kategori masjid itu ialah; masjid di pusat
kota, masjid instansi pemerintah, masjid kampus, masjid pedesaan, masjid di
pusat kegiatan ekonomi dan masjid wisata. Masing-masing masjid ini memiliki
peluang untuk dikelola secara profesional berdasarkan ukuran-ukuran yang ada
dan bersifat khas antara yang satu dengan lainnya.
Kelima, manajemen masjid diartikan
sebagai pengelolaan masjid dengan menerapkan berbagai fungsi manajemen dan
serangkaian aktivitas manajemen dalam lingkup masjid. Oleh karenanya, sub
pembahasannya pun terdiri dari organisasi dan manajemen masjid yang bertutur
tentang apa, bagaimana dan untuk apa penerapan manajemen masjid. Kemudian,
sebagai lembaga keagamaan yang terorganisir, masjid juga membutuhkan mekanisme
administrasi yang mempersyaratkan adanya tata kerja yang profesional dan
terarah. Salah satu contoh sederhana dikemukakan pada sub pembahasan
selanjutnya, misalnya bagaimana memanajemeni imam, khatib dan muadzin, dari
segi ekonomi misalnya bagaimana menggerakkan koperasi berbasis jamaah masjid.
Tidak ketinggalan, sebagai proses manajemen, dalam masjid yang dikelola dengan
baik, semestinya dibangun pola hubungan dengan lembaga luar sehingga tercipta
sebuah kerjasama yang menguntungkan.
Keenam, ketika manajemen telah
diaplikasikan dalam masjid secara baik, tentunya kita dapat membebaskan masjid
dari keterlantaran. Islam sangat memperhatikan kesejahteraan umat, pemberdayaan
umat, khususnya dalam bidang ekonomi. Hal ini dapat ditempuh melalui masjid
sebagai salah satu instrumen pembangun ekonomi umat Islam dengan menyediakan
kesempatan setiap umat atau jamaah untuk ikut andil dalam aktivitas ekonomi
berbasis masjid.
Ketujuh, jika kita kembali pada makna
“ta’mir masjid” sebagai bagian dari tugas umat Islam yang pada hakikatnya mengandung
dua dimensi; tawhîd dan amal shaleh. Bukan semata profesionalisme, apalagi
untuk kepentingan komersial, justru dalam pandangan penulis ta’mir masjid juga
berarti ta’mir ummah, dan dalam kerangka inilah Islam muncul dalam karakter
rahmatan lî al-‘âlamîn.
Menyimak firman Allah
dalam surat At-Taubah:18 di atas juga dalam ayat lain (seperti memakai pakaian
indah untuk memasuki masjid (QS. A’raaf:31), bertebaran kemuka bumi mencari
karunia Allah setelah shalat; (QS. Al-Jumu’ah:10) dan begitu banyak ayat yang
merangkaikan perintah shalat dengan membayar zakat), Selayaknya dimaknai sebagai tugas kita bersama
untuk tidak saja memakmurkan masjid tetapi juga memakmurkan jamaah masjid.
Tugas seperti ini tentu saja tidak bisa dilakukan sambilan
apalagi di saat umur sudah udzur dan tantangan ekonomi yang sangat kompetitif.
Di
sisi lain masjid sesungguhnya mempunyai fungsi dan peranan yang “unik”, pada
masa Rasulullah semua fungsi kehidupan baik ibadah maupun muamalah dilaksanakan
di masjid, penegasan agar orang senantiasa ke masjid paling tidak untuk shalat
berjamaah di awal waktu sangat banyak. (pahala berlipat, langkah ke masjid
menghapus dosa dan mengangkat derajat dan sebagainya). Kesadaran berjamaah
tersebut juga sangat khas karena dilandasi prinsip ukhuwah (QS. Al-Hujurat:10),
persamaan derajat (Al-Hujurat:13), Imamah dan akhlakul karimah.
Secara
umum, walaupun belum berfungsi secara optimal masjid merupakan basis penting
untuk pengelolaan zakat dengan beberapa alasan, yaitu :
- Lokasinya berada disekitar masyarakat dan dimiliki oleh masyarakat
- Jejaring relatif lebih mudah dibentuk.
- Dengan adanya data jamaah, kelompok masyarakat yang menjadi sasaran jelas. (baik muzaki maupun mustahik)
- Sumber dana dan alokasi dana oleh karenanya dapat dilakukan secara transparan.
Oleh
karena pengelolaan zakat adalah tugas syariah yang khusus. Hal ini penting agar
pesan syariah sebagaimana dipesankan banyak ayat dan telah dicontohkan Rasul
serta para sahabat dapat dirasakan juga keberhasilannya. Ayat Allah dalam
al-Qur’an surat Al-A’raaf : 156 “…… Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk
orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman
kepada ayat-ayat Kami". rasanya sangat penting untuk memperkuat tekad
kita dalam memakmurkan masjid dan jamaah masjid.
Keterkaitan
pengelolaan zakat dengan pengembangan instrumen keuangan lain seperti BMT dan
lembaga keuangan lain sangatlah penting. Zakat selain dimanfaatkan untuk
konsumtif sebagaimana diamanatkan oleh QS. At-Taubah : 60, juga untuk
kepentingan yang sama dapat dilakukan produktif khususnya untuk asnaf miskin.
Orang-orang miskin yang mempunyai kemampuan usaha atau telah mempunyai usaha
kecil tetapi tidak punya agunan untuk berhubungan dengan lembaga keuangan dapat
bekerjasama dengan lembaga pengelola zakat pada tahap awal, dan apabila telah
berkembang usahanya dapat meneruskan hubungan bisnis tersebut dengan BMT atau
BPRS. Jejaring ini selayaknya dapat bersinergi sampai ke jamaah masjid untuk
memberikan akses seluas-luasnya, apalagi apabila ada dukungan pemerintah untuk
program pengentasan kemiskinan.
C.2. Masjid Sebagai Jejaring Zakat
Dengan demikian, masjid memiliki peran yang
strategis sebagai komunitas zakat (BAZ/LAZ).
Namun saat ini, masih rendahnya perolehan zakat pada badan amil zakat
antara lain dipengaruhi masih belum optimalnya peran sosial masjid, padahal
masjid memiliki dua peran, yakni sebagai tempat beribadah dan silaturahim serta
pengumpulan zakat.
Untuk itu, diperlukan empat langkah untuk
dapat menaikkan perolehan zakat berbasis masjid, yakni;
Pertama, sosialisasi kepada masyarakat bahwa pembayaran pajak seperti yang
dipraktekkan di zaman Khulafaur Rasyidin dikelola oleh petugas amil.
Kedua, penguatan kelembagaan terkait petugas amil zakat yang lebih amanah
dan kredibel dalam mengelola zakat.
Ketiga, pendayagunaan sumberdaya yang ada, dan
Keempat, sinergi antara semua komponen baik masyarakat, pemerintah maupun
pihak lainnya.
Dalam pengembangan masjid sebagai komunitas zakat, diperlukan pemetaan masjid
dan potensinya di tengah masyarakat. Masjid yang berlokasi di daerah perumahan
yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor jasa, akan memiliki potensi yang
berbeda dengan mesjid yang berlokasi di wilayah yang didiami oleh mayoritas
petani atau nelayan. Analisis yang tepat akan menggiring pada pemilihan
aktivitas ekonomi yang tepat.
Selama ini,
memang banyak faktor yang mempengaruhi belum optimalisasi peran masjid sebagai
komunitas zakat/(BAZ, LAZ, UPZ). Salah satu penyebab adalah paradigma
umat yang memandang fungsi masjid terpisah dari dinamika kehidupan sehari-hari.
Selain itu adalah karena kegiatan masjid itu sendiri yang belum dikelola secara
baik dan profesional seiring dengan kebutuhan jamaah dan masyarakat di
sekitarnya.
Oleh karena itu,
perlu upaya menyadarkan dan menggerakkan umat agar kembali ke masjid harus
dilakukan simultan dengan pembenahan manajemen masjid itu sendiri. Dewasa ini
gerakan kembali ke masjid dapat dijuga dimaknai sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan umat berbasis masjid. Kegiatan pemberdayaan ekonomi umat berbasis
masjid dapat diwujudkan seperti pembentukan koperasi masjid, pelayanan zakat,
pelayanan kesehatan bagi jamaah yang tidak mampu, dan pemberdayaan aset masjid
sebagai wakaf produktif yang semuanya itu perlu dikelola secara baik.
Pada sisi lain, masjid merupakan ruh dari
gerakan dakwah. Dakwah tidak semata-mata memberikan ceramah dan pengajian saja,
tapi juga mewujudkan solusi Islam terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi
umatnya. Dalam kerangka ini kita baru dapat merasakan peran masjid sebagai
pusat ibadah dan sentral solusi masalah kehidupan umat.
Peran ideal masjid seperti digambarkan di
atas, tidak lahir begitu saja, tetapi perlu diupayakan bersama oleh semua
komponen dalam masyarakat.
Untuk itu, pengurus masjid harus proaktif menggerakkan
potensi jamaah dan umat dengan membuat program dakwah, majlis taklim, pembinaan
remaja, dan berbagai bentuk pelayanan jamaah yang terprogram secara baik.
Dengan kata lain, pengelolaan masjid harus dilakukan secara profesional.
Profesionalitas merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan, dan dengan
profesionalitas kita akan mampu mengembangkan dan mengimplementasikan fungsi
masjid sebagaimana mestinya.
C.3
Model Program Pemberdayaan.
A.
Pemberian Pinjaman
1. Penyaluran
Pinjaman Kebajikan (Qordhul Hasan)
-
Penyaluran pinjaman Qordhul Hasan dengan
berbasis ranting dan masjid dengan
penerima pinjaman
merupakan komunitas yang ada di sekitar masjid di wilayah
BMT.
-
Tiap masjid dialokasikan dengan jumlah minimal pemanfaat.
- Dibuat sistem kelompok dengan mekanisme
tanggung renteng.
-
Bagi yang telah mandiri dan membutuhkan modal yang semakin besar
diarahkan untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembiayaan komersial dari BMT.
2. Sasaran Program
diarahkan untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembiayaan komersial dari BMT.
2. Sasaran Program
- Warga fakir miskin disekitar wilayah masjid
- Warga disekitar masjid yang memiliki usaha
mikro.
3. Tujuan
penggunaan
- Untuk kebutuhan modal usaha yaitu modal kerja
maupun pembelian peralatan kerja.
- Untuk kebutuhan biaya pendidikan.
- Untuk kebutuhan biaya pendidikan.
- Untuk kebutuhan biaya pengobatan.
-
Dana talangan untuk perbaikan sarana dan prasarana ibadah atau umum
4. Sistem dan
prosedur
- Memiliki
kebutuhan sesuai tujuan program
- Memiliki tanda pengenal (KTP) sebagai
warga masjid
- Tidak memiliki
pinjaman di lembaga lain.
- Mengajukan permohonan
kepada BMT
- Menyetujui berbagai
persyaratan yang ditentukan, seperti aktif dalam kegiatan kelompok
pengajian, jangka waktu pembiayaandan
besarnya angsuran.
- Bersedia membayar
kembali secara teratur sesuai perjanjian.
- Bersedia membuka
tabungan di BMT sebagai cadangan pemupukan modal yang
bersangkutan.
5. Pengelolaan
-
Prinsip pengelolaan Qordhul Hasan berbasis Masjid adalah merupakan kolaborasi
antara
BMT dengan UPZ Masjid
-
sebagai Account Officer Pinjaman Qordul Hasan Berbasis Masjid.
-
Analisis / verivikasi dilakukan oleh Account Officer yang berlokasi di sekitar
masjid
pemohon
-
Angsuran dapat dilakukan melalui kantor BMT atau lewat koordinator di UPZ atau
melalui
Account Officer yang menjadi pengelola program untuk yang bersangkutan.
-
Bila terjadi ketidaklancaran pembayaran,
maka Kelompok akan ikut mengusahakan
penagihannya.
-
Bila yang bersangkutan
benar-benar tidak mampu membayar, maka
UPZ akan memberi zakat kepada yang bersangkutan untuk membayar pinjaman Qardhul
UPZ akan memberi zakat kepada yang bersangkutan untuk membayar pinjaman Qardhul
Hasan kepada BMT
C. Program
Dana Pembiayaan Usaha Mikro
C.1. Definisi
Yaitu sekelompok
orang (pengusaha mikro) yang berhimpun
dalam sebuah komunitas, dibentuk oleh BMT atau LAZ
disekitar masjid untuk mendapatkan program pemberdayaan ekonomi
dari dana Pemda atau zakat dengan sistem pendampingan yang intensif,
komprehensif dan terpadu.
Usaha mikro dalam konteks BMT/LAZ adalah usaha yang
bersifat menghasilkan pendapatan dan dilakukan oleh rakyat miskin atau
mendekati miskin. Dengan demikian Pengusaha Mikro adalah mereka
yang dikategorikan sebagai mustahik dan memiliki usaha (perniagaan).
Setiap anggota BMT/LAZ akan mendapatkan
pembiayaan modal usaha, mengikuti proses pendampingan usaha, serta aktivitas
pemberdayaan lainnya dari BMT/LAZ.
C.2. Tujuan
Program ini bertujuan
mewujudkan kehidupan anggota, keluarga dan masyarakat yang selamat, damai dan
sejahtera melalui pengelolaan komunitas yang sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar saling tolong menolong, budaya kerja produktif, dan semangat menabung
untuk mengembangkan usaha.
C.3. Sasaran
Komunitas
mustahik yang berada dalam sebuah wilayah dengan ketentuan sebagai berikut:
- Masuk dalam kategori mustahik (miskin : memiliki penghasilan/aset di bawah standar nishab zakat)
- Memiliki usaha (perniagaan berskala mikro yang sdg berjalan)
C.4. Program
- Bantuan Modal dengan sistem dana bergulir
- Pendampingan Usaha
- Pengembangan dan penguatan skill usaha
C.5. Tahapan Program
1. Assessment Calon Peserta
2. Analisa Kelayakan Usaha
3. Pengguliran Dana
4. Monitoring
5. Pengembalian Dana
6. Pendampingan Usaha
7. Evaluasi
C.6. Assessment
Proses
pengidentifikasian kebutuhan dan potensi yang ada dalam masyarakat (komunitas
sasaran) dengan kegiatan:
- Survey Wilayah (himpun data Demografi)
- wilayah Kelurahan
- wilayah RW
- Assessment calon peserta (himpun data keluarga & usaha)
- Focus Group Discussion
- Analisa Kelayakan Usaha
Hal-hal yang menjadi bahan penilaian kelayakan usaha:
1.
Perencanaan
Usaha (biaya produksi, kapasitas, keuntungan, lokasi usaha, dll)
2.
Payback
Period usaha peserta
- Penetapan Peserta
C.7. Pengguliran
dana & Pengembalian
Prinsip-prinsip
pengguliran dana:
- Tujuan dipilihnya kegiatan dana bergulir adalah untuk menanggulangi kemiskinan. Oleh karenanya harus menjangkau warga masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran utama bmm.
- Pengelolaan dana bergulir berorientasi kepada proses pembelajaran untuk penciptaan peluang usaha dan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat miskin, serta kegiatan-kegiatan produktif lainnya
- Prosedur serta keputusan pemberian dana bergulir harus mengikuti prosedur pemberian dana bergulir yang standar
- Pendamping program dana bergulir harus orang yang mempunyai kemampuan dan wawasan tentang pembiayaan mikro
- Program pinjaman bergulir akan dilengkapi dengan sistem pembukuan yang standar serta sistem pelaporan keuangan yang memadai;
C.8. Monitoring
Monitoring
merupakan penilaian (assessment) yang dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan atas pelaksanaan suau kegiatan/program. Tujuannya untuk menilai
kemajuan suatu program berdasarkan periode waktu tertentu. Jangka waktu
pelaksanaannya dilakukan sepanjang tahap pelaksanaan/implementasi program
dengan tujuan:
- Untuk mengetahui apakah program berjalan dengan baik sesuai dengan rencana.
- Untuk mengetahui masalah yang dihadapi dan solusi untuk memperbaikinya.
- Untuk memberikan umpan balik mengenai kemajuan program.
- Untuk memperbaiki rencana program selanjutnya.
- Untuk mendapatkan informasi untuk evaluasi dampak.
Hal-Hal yang
dievaluasi:
- Keuangan
- Sumber daya manusia:
- Peserta program
- Pendamping
- Waktu
- Kegiatan
C.9 Pendampingan Usaha
Tugas-Tugas pendampingan
- Menemukan potensi dan keterampilan mustahik sehingga mampu dikembangkan menjadi bisnis / usaha mikro.
- Membantu mustahik merancang usaha mikro yang disertai analisis kelayakan usaha dan rencana bisnis yang sistematis.
- Membimbing dan mendampingi mustahik menjalankan usahanya sehingga mencapai tujuan yang mampu mensejahterakan mustahik.
- Melakukan monitoring terhadap aktivitas usaha dan perkembangan usaha peserta program.
- Memonitor perubahan sikap peserta program.
- Melaporkan hasil monitoring kepada BMT/LAZ
C.10.
Persiapan Pelaksanaan
Program
- Hal pertama yang harus dilakukan saat akan memulai program ini adalah mendapatkan lokasi / wilayah sasaran dengan profil sebagai berikut:
·
berlokasi di rural
area
·
termasuk dalam
kategori wilayah miskin
a.
pendapatan
rata-rata penduduk di bawah Rp 2.000.000,-
b.
kondisi fisik
lingkungan termasuk dalam kategori pemukiman padat dengan kualitas sanitasi di
bawah standar kesehatan.
·
masyarakatnya rata-rata berprofesi sebagai pengusaha mikro
- Setelah menetapkan wilayah, tahap selanjutnya adalah mendapatkan informasi lokasi-lokasi komunitas masjid di wilayah tersebut.
Guna
mendapatkan informasi tentang komunitas masjid, dapat melakukan beberapa hal
berikut:
- menghimpun data sekunder dari kelurahan (data demografi)
- meminta informasi dari kawan atau kerabat
- setelah mendapatkan data base bakal lokasi program (masjid), lakukan kunjungan silaturahim kepada pengurus masjid. Kunjungan ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan pra kondisi sebagai salah satu faktor kelayakan wilayah sasaran. Adapun pra kondisi dimaksud diantaranya:
- soliditas pengurus masjid sangat baik
- jamaah masjid masing-masing terkoneksi satu sama lain ( bisa karena ikatan kepengurusan masjid, majlis taklim atau RT/RW)
- intensitas kegiatan ummat yang dilakukan di masjid sangat tinggi
- keberadaan sasaran (calon peserta) program. Minimal 50% jamaah sholat terdiri dari pengusaha mikro.
- sikap masyarakat terhadap program-program ekonomi yang diinisisasi dari pihak luar sangat positif (bukan dari lingkungan masyarakat).
- kesediaan pengurus masjid untuk membantu proses inisiasi program.
- jika pra kondisi yang diharapkan terdapat di lokasi masjid, maka dapat dilakukan langkah selanjutnya yaitu berkoordinasi dengan pengurus Masjid guna mempersiapkan proses assessment .
DAFTAR
PUSTAKA
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Manan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj. M. Nastangin, (Yogyakarta,
Dana Bhakti Wakaf, 1997)
Mustafa Edwin
Nasution, Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah.
Tim Institut
Manajemen Zakat, Profil 7 BAZDA Propinsi dan Kabubaten Potensial di
Indonesia, Jakarta: PT Mitra Cahaya
Utama, 2006.
www. Bimasislam.depag.co.id
[1] Sejarah
menunjukkan, bahwa saat Islam masuk ke Nusantara, zakat sudah menjadi urat nadi
pemberdayaan masyarakat muslim. Ia telah dipraktekkan oleh masyarakat muslim
Indonesia sebagai salah satu sumber dana bagi penyebaran ajaran-ajaran Islam
saat itu. Sehingga penyebaran ajaran agama menjadi efektif, kaerena tertopang
oleh pendanaan dari zakat. Lihat: Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam
Zakat dan Waka, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1988) hlm 32
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut