Selasa, 08 Mei 2012

Jual Beli Menurut Pandangan Islam.


Jual Beli Menurut Pandangan Islam.
(Kajian Maudhu’i)
By Idris Parakkasi


A.    Pendahuluan
Setiap orang mesti dan harus berusaha memenuhi kebutuhannya dengan segala kemampuan dan cara yang ada. Tidak ada orang yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa berinteraksi dan berhubungan dengan yang lain, sehinga diperlukan suatu cara yang mengatur mereka dalam memenuhi kebutuhannya tersebut,  salah satunya adalah jual beli. Karena itulah Allah mengkarunia  hamba-hambaNya  kemampuan dan naluri untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan dan menuntun hamba- Nya tersebut dengan aturan dan arahan yang dapat menjauhkan mereka dari kemurkaan-Nya.
            Dizaman sekarang masalah jual beli dan bentuk-bentuknya berkembang pesat dan cukup pelik untuk dimengerti dari yang tradisional,  konvensional sampai yang multi level. Hal ini menuntut setiap muslim untuk mengerti hukum syariat  tentang hal itu, ditambah dewasa ini kaum muslimin sangat meremehkan dan tidak memperhatikan lagi masalah halal dan haram dalam usaha mereka.  Padahal kehalalan satu usaha mencari nafkah merupakan masalah besar dan penting dalam pandangan para salafussholeh. Mereka telah memberikan perhatian sangat besar dan serius dalam hal ini, sebab ini sangat mempengaruhi makanan dan minuman yang dimakan seseorang. Cukuplah bagi kita  hadits nabi SAW  yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya,”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh .Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.      (al-Mu’minun: 51).
Dan ia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman ,makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”, (Al-Baqarah: 172). Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya seperti debu mengulurkan kedua tangannya ke langit sambil berdo’a: Ya Rabb,Ya Rabb, sedang makanannya haram ,minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram, maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?1”.
Ibnu Rajab Rahimakumullah  berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amal tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan makan makanan yang halal. Sedangkan makan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya tidak diterima.2

 1 Muslim dalam kitab Az-Zakat no. 1015 dan At-Tirmidzi dalam kitab tafsirul  Qur’an no. 2989 dan Ahmad
  dalam   Baaqi Musnadil Miktsirin no. 1838 dan Ad-Dharimi dfalam kitab Ar-raqaiq no. 2717
  2Jamiul “ulumul wal hikam  (1:260)



Demikian juga Prof. DR. Abdurrazaaq bin Abdulmuhsin Al ‘Abaad menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: ‘Rasulullah SAW memulai hadits ini dengan isyarat akan bahayanya makan barang haram dan hal itu termasuk pencegah dikabulkannya do’a. Terfahami darinya bahwa memperbagus makanan (halal dan baik ) menjadi salah satu sebab dikabulkannya do’a, sebagaimana dikatakan Wah bin Munabbih: ‘Siapa yang ingin dikabulkan Allah do’anya maka hendaklah memperbagus makanannya,
 dan ketika Sa’d bin Abi Waqqash ditanya mengenai sebab  dikabulkan do’anya diantara para sahabat Rasulullah  SAW beliau berkata, “Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku kecuali aku mengetahui dari mana datangnya dan dari mana ia keluar.”
Perhatikan juga sabda Rasulullah SAW ,
إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Sesungguhnya tidak berkembang daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya.”









B.     Definisi Jual Beli
Pengertian secara bahasa dari kata bai’ adalah bentuk masdar kata ba’ata. Kata-kata baa’a - yaabii’u mempunyai arti malaka waisytara  (memiliki dan membeli)  kata  isytara  sendiri ada kalanya mencakup kedua makna itu juga. Kata bai’ itu sendiri berasal dari akar kata al- baa’i yang berarti mengulurkan tangan. Hal ini disebabkan karena kedua belah pihak yang terlibat jual beli saling mengulurkan tangan mereka untuk  lil ba’i mengambil dan memberi. Jual beli dikatakan juga bayya’aan  dari kata abaa’a ‘urdhahu atau menjajakan dagangannya untuk dijual.3 Adapun al-ba’i secara syar’i adalah pertukaran harta kepemilikan dan menjadi hak milik.4 Dalam Al-Maghrib disebutkan kata ba’i termasuk adh-daad (memiliki dua arti yang saling berlawanan). Dikatakan  seseorang melakukan ba’i  terhadap sesuatu, artinya bila membeli atau menjualnya. Dalam Ikhtiyaar disebutkan kata ba’i secara bahasa artinya barter secara umum. Demikian juga arti kata syira, baik itu dengan menggunakan harta atau benda lain. Firman Allah:
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَن:َّةَ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. (QS. At-Taubah: 111)


3. Lihat Mukhtaar Ash-Shohhah, hal. 281
4.Lihat Al-Mughni, Vol. III, hal 56




Allah juga berfirman:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُاْ الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَآ أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka. (QS. Al-Baqarah: 175)
 Dalam Raddul Mukhtaar arti kata Syiraa’ yaitu penukaran sesuatu yang lain baik berupa harta ataupun bukan. Misalnya firnan Allah:

وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْس
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, (QS. Yusuf:20)
Terkadang kata Al Ba’i juga digunakan dalam makna Asy-Syira’, demikian sebaliknya5.
Menurut ulama Hanafiyyah ba’i adalah menukar sesuatu yang disukai dengan sesuatu yang senilai berdasarkan cara yang bermanfaat dan tertentu. Kalangan Malikiyyah memiliki dua yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Jual beli secara umum adalah transaksi tukar menukar yang tidak terbatas dalam fasilitas atau kesenangan semata. Misalnya penukaran uang tunai (money changer) atau sharf, murathalah.6
5 Fathul Baari. Kitab Al-Buyu jilid 12 hal. 3
6As-Sharf: Tukar menukar alat tukar dengan alat tukar berbeda dalam suatu jenis, seperti emas dengan perak.
  Murathalah menurut madzab  Malikiyyah: Tukar menukar alat tukar dengan alat tukar yang sama dalam suatu
   jenis, seperti emas dengan emas




Jual beli secara khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika  (tidak ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.
Kalangan Syafi’iyyah memberi definisi bahwa jual beli (ba’i) adalah tukar menukar suatu harta dengan harta yang lain melalui cara yang khusus.7 Qurtubi mendefinisikan  ba’i adalah transaksi penukaran benda yang berujung kepemilikan sesuatu atau fasilitas tertentu secara permanen.


7Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’mi Al-Fadzil minhaj (3:3)










C.    Penyebutan Jual Beli dalam Al-Qur’an
1.      Term Jual Beli
  Dalam  al-qur’an term jual beli dari kata tijarah terdapat 7 ayat. Kata yastarii 7 ayat dan kata ba’i ada 6 ayat. Adapun ayat-ayat tersebut dapat dilihat dibawah ini:
2.      Ayat-Ayat  Yang Terkait  Dengan Kata-Kata “Tijarah”
1.   QS. Al-Baqarah : 28
لِلشَّهَـدَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَ أَن تَكُونَ تِجَـرَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
2.   QS Al-Baqarah :16
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُاْ الضَّلَـلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِّجَـرَتُهُمْ وَمَا كَانُواْ مُهْتَدِينَ
3. QS. An- Nisaa: 29
3. يَـأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَـطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَـرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
4.QS. As-Shaaf : 10
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
.5. QS. Faatir : 29
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ


6. QS. At-Taubah: 24
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ
7. QS. An-Nuur: 37
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ
3.      Ayat-Ayat  Yang Terkait Dengan Kata-Kata “ Yastarii
1.      QS. Lukman: 6
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
. 2. QS.Al-Baqarah: 79
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـذَا مِنْ عِندِ اللّهِ لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُ
3.QS. Al-Baqarah:174
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً أُولَـئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلاَّ النَّارَ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم .
4. QS. Al-Imran: 77
 


إِنَّ الَّذِينَ اشْتَرَوُاْ الْكُفْرَ بِالإِيمَانِ لَن يَضُرُّواْ اللّهَ شَيْئًا وَلهُمْ عَذَابٌ أَلِيم


5. QS. Al-Imran:187
 



وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاء ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْاْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ

6. QS. Al-Imran: 199
 
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَن يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلّهِ لاَ يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللّهِ ثَمَنًا قَلِيلاً أُوْلَـئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
7. QS. An-Nisaa: 44
 
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُواْ نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلاَلَةَ وَيُرِيدُونَ أَن تَضِلُّواْ السَّبِيلَ
4.      Ayat-Ayat  Yang Terkait Dengan Kata-Kata “ Ba’i”
1.      QS. Al-Baqarah: 275
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
2.      QS. Al-Jumu’ah:9
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ




   3.QS.Al-Baqarah: 254
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَّ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خُلَّةٌ وَلاَ شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

                                                                                                                     

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

5.QS. Ibrahim: 31
قُل لِّعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُواْ يُقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَيُنفِقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَّ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خِلاَلٌ

 
 6. QS. An-Nuur : 37
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

D.    Kajian Tafsir Maudhu’i  Beberapa Ayat Tentang Jual beli
1.                  Allah SWT Mensyariahkan  Jual Beli dan Mengharamkan Riba
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba8 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila9. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)
10; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)


8 Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
                   9 Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
                  10Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.



Penjelasan Mufradat Ayat

يَأْكُلُوْنَ الرِّبَ ا

“Mereka memakan riba.” Maksud memakan di sini adalah mengambil. Digunakannya istilah “makan” untuk makna mengambil, sebab tujuan mengambil (hasil riba tersebut) adalah memakannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qurthubi. Ini pula yang ditegaskan oleh Al-Imam At-Thabari dalam menafsirkan ayat ini. Beliau rahimahullahu berkata: “Maksud ayat ini dengan dilarangnya riba bukan semata karena memakannya saja, namun orang-orang yang menjadi sasaran dari turunnya ayat ini, pada hari itu makanan dan santapan mereka adalah dari hasil riba. Maka Allah menyebutkan berdasarkan sifat mereka dalam menjelaskan besarnya (dosa) yang mereka lakukan dari riba dan menganggap jelek keadaan mereka terhadap apa yang mereka peroleh untuk menjadi makanan-makanan mereka. Dalam firman-Nya Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)

Ayat ini mengabarkan akan benarnya apa yang kami katakan dalam permasalahan ini, yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan segala hal yang memiliki makna riba. Sama saja baik melakukan aktivitas yang bernilai riba, memakannya, mengambilnya, atau memberikan (kepada yang lain). Sebagaimana permasalahan ini telah jelas keterangannya dari berbagai kabar yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ إِذَا عَلِمُوا بِهِ

“Allah melaknat yang memakan (hasil) riba, yang memberi riba, penulisnya, dan dua saksinya jika mereka mengetahuinya.” (Hadits ini diriwayatlan dari berbagai jalan, di antaranya riwayat Muslim dari Jabir, Ath-Thabarani dari Abdullah bin Mas’ud; Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari hadits Abdullah bin M

وَمَنْ عَاد                                                                                                                                  َ
“Siapa yang kembali,” yaitu kembali melakukan praktek riba sampai dia mati. Ada pula yang mengatakan: “Barangsiapa yang kembali dengan ucapannya: ‘Sesungguhnya jual beli itu sama saja dengan riba’.
Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di  rahimahullahu berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka peroleh dan kesulitan yang mereka hadapi di kemudian hari. Mereka tidak bangun dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang  kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan. Mereka khawatir dan penuh kecemasan akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat perbuatan mereka.
Sebagaimana terbaliknya akal mereka, yaitu dengan mereka mengatakan: Jual beli itu seperti riba. Perkataan ini tidaklah bersumber kecuali dari orang yang jahil yang sangat besar kejahilannya. Atau berpura-pura jahil yang keras penentangannya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas sesuai keadaan mereka, sehingga keadaan mereka seperti keadaan orang-orang gila.
Ada kemungkinan yang dimaksud dengan firman-Nya: “Mereka tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila,” yaitu pada saat hilangnya akal mereka untuk mencari penghasilan dengan cara riba, harapan mereka berkurang, dan akal mereka semakin melemah, sehingga keadaan dan gerakan mereka menyerupai orang-orang yang gila, tidak ada keteraturan gerakan, dan hilangnya akal yang meyebabkannya tidak memiliki adab.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam membantah mereka dan menjelaskan hikmah-Nya yang agung: “Dan Allah menghalalkan jual beli.”
Karena di dalamnya mengandung keumuman maslahat. Ia merupakan perkara yang sangat dibutuhkan dan akan menimbulkan kemudharatan bila diharamkan. Ini merupakan prinsip asal dalam menghalalkan segala jenis mata pencaharian hingga datangnya dalil yang menunjukkan larangan.
“Dan (Allah) mengharamkan riba,” karena di dalamnya yang mengandung kedzaliman dan akibat yang jelek.
Hukuman bagi yang memakan / bertransaksi dengan riba baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, adalah tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktifitas, melainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh syetan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhannya.
Menurut  Quraish Shihab­ tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. Mereka yang mempraktekkan riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung dan berada dalam ketidak pastian, disebabkan karena pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Orang tersebut yang memakan riba_telah disentuh oleh setan sehingga bingun tidak tahu arah.
Dalam tafsir Ibn Katsir bahwa orang-orang yang menentang hukum Allah, dan berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba, seakan akan mereka akan menggunakan qiyas yang terbalik dan keliru. Dan mengatakan “riba itu sama saja dengan jual beli, tetapi karena mereka tidak mengakui tuntunan syariat yang mengenai hukum jual beli yang halal dengan cara riba. Sedangkan dalam tafsir  Fi Zhilalil Qur’an kepandaian dan kesungguhan seseorang serta keadaan-keadaan alamiah yang berlangsung dalam kehidupan itulah yang menentukan untung ruginya. Sedangkan bisnis ribawi keuntungannya sudah dipastikan dalam semua keadaan. Dan inilah perbedaan pokok dan alasan penghalalan dan pengharaman. Sesungguhnya setiap bisnis yang menjamin keuntungan dalam kondisi apapun adalah bisinis riba karena jaminan  dan kepastian keuntungan itu, hal tersebut bertentangan dengan rahasia Allah SWT tentang pendapatan yang diperoleh manusi.12 Perbuatan riba pada dasarnya merusak kehidupan manusia.
Dan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduanya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya


12lihat Terjemahan Qur’an Departemen Agama RI QS. Luqman ayat 34







(dari aib dan cacat) maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)
Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena
kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali          
dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki. .
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih."
Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim.
Selain itu dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas tentang kebolehan jual beli Rasulullah bersabda:
“Adalah Okazh, majannah dan dzul majaas merupakan pasar (tempat transaksi jual beli) dimasa jahiliyah, dan ketika Islam datang, orang-orang takut terjerumus dalam dosa…, maka diturunkanlah firman Allah ‘iasyah ‘alaikum junaahun an tabtaghuu fadhlan min rabbikum..’ ( tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia {reziki} hasil perniagaan dari Tuhan…)” (QS.2:198).
Begitu pula hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim Rasulullah Bersabda: “penjual dan pembeli keduanya mempunyai hak untuk menentukan (menjadikan atau membatalkan) transaksi selama keduanya belum berpisah.15
Telah terjadi kesepakatan (ijma’) dikalangan ummat Islam akan bolehnya berniaga secara total,9. Selama  tidak melalaikan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan Allah sebagaimana dalam al-qur’an  surah Al-Jumu’ah ayat 16


15Ketentuan ini berlaku selama tidak ada perjanjian lain yang disepakati kedua belah pihak
16 Lihat Al-Mughni. Vol. III, hal 560












2.      Keseimbangan Dalam Jual Beli Dengan Kewajiban Kepada Allah
Firman Allah : QS. An Nuur :37
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

Artinya: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”.
Dalam tafsir Ibn Katsir  Allah SWT menceritakan hamba-hamba-Nya dan memperoleh pancaran nur iman dan takwa didada mereka, bahwa mereka tekun dalam ibadahnya. Mereka tidak tergoda dan terganggu dari perniagaan dan jual beli, mereka dapat membagi kewajiban ukhrawi dan kewajiban duniawi, sehingga tidak sedikitpun tergeser amal dan kewajiban ukhrawi mereka oleh usaha duniawi mereka sebagaimana hadis Rasulullah SAW:
Artinya; “ Berusahalah  untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya dan usahalah untuk akhiratmu seakan akan-akan engkau akan mati esok.
Ayat ini adalah dalam konteks penjelasan tentang sifat-sifat orang mukmin yang menjadikan mereka wajar menerima petunjuk menuju cahaya itu .disini dalam konteks tijarah dan buyu’.
Thabatthaba’i berpendapat bahwa kata tijarah, jika diperhadapkan dengan kata ba’i   maka berarti kesinambungan dalam upaya dalam mencari rezki dengan jalan jual beli, sedangkan bai’ adalah upaya jual beli yang menghasilkan keuntungan riil yang sifatnya langsung. Penggalan ayat ini bagaikan menyatakan bahwa manusia-manusia itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang mereka bersinambungan guna mencari keuntungan.
Ibn ‘Asyur memahami kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh keuntungan dengan jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena kebutuhan akan harganya.
Dalam surat an-Nur: 37 ini Allah menginformasikan bahwa orang yang mendapat pancaran Nur Ilahi itu adalah orang yang tidak dilengahkan oleh tijarah, mereka selalu mengingat Allah, dan tidak pernah lupa atau lalai sepanjang upaya mereka yang bersinambungan guna mencari keuntungan (tijarah) disaat-saat mereka melakukan jual beli, mereka itu biasa  dan meraih keuntungan (bai’), merekapun tidak lupa shalat pada saat-saat tertentu itu. Qatadah berkata,  mereka itu biasa melakukan transaksi oleh  jual beli dan berdagang. Akan tetapi apabila turun kepada mereka salah satu hak Allah, niscaya mereka tidak dilalaikan oleh perniagaan maupun jual beli dari berdzikir (mengingat) kepada Allah hingga mereka menunaikan hak tersebut kepada Allah.

3. Kesaksian Dalam  Jual Beli/Mu’amalah QS. Al-Baqarah : 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيدٌ وَإِن تَفْعَلُواْ فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah8 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah(2): 282
Ayat ini yang terpanjang dalam Al-Qur’an dan dikenal oleh ulama dengan ayat al-Madayanah (ayat utang piutang). Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah sedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang-orang yang memiliki harta atau yang mengumpulkannya, kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya.


a.       Perintah menulis
Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca, dan apabila tidak pandai atau keduanya tidak pandai maka mereka hendaknya mencari orang ke tiga sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah: 283
Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil, artinya tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis: 1. kemampuan menulis 2. Pengetahuan tentang aturan, serta tata cara menulis perjanjian. Dan 3  Jujur
b. Saksi
Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka dilanjutkan dengan menyangkut persaksikan , dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. Kata yang digunakan ayat ini adalah syahidayn artinya benar-benar wajar serta telah dikenal kejujuran sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut
Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis pun pada saksi, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Penulisan hutang piutang dan persaksian yang dibicarakan itu lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuannya dan dalam kenyaqtaan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tudak, menimbulkan keraguan diantara kamu
b.      Gadai
 “ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Al-Baqarah(2): 283
Dalam ayat ini dijelaskan Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) dan bermu’amalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) atau disebut juga gadai
Dari segi bahasa gadai diambil dari pemahaman bahasa arab yaitu Rahn artinya tetap dan lestari, secara syara’ ia berarti menjadikan barang yang yangng mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ saebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atu dia bisa mengambil sebagian( manfaat) barangnya itu.
Dalam ayat ini menjelaskan jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi lagi, tetapi kepercayaan atau amanah timbul balik. Hutang diterima oleh piutang, dan barang jaminan diserahkan kepada pemberi hutang
4.      Jual Beli Dengan Allah  ( QS.9:111 )

إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
Tafsir Ibn Katsir mengatakan bahwa Allah memberitahukan bahwa hamba-hamba-Nya yang mukmin yang telah mengorbankan jiwanya dan harta bendanya di jalan Allah, akan diberi tempat di surga sebagai ganti. Berkata Hasan Al Basri dan Qatadah bahwa “Allah telah membeli dari hamba-hamba-Nya dengan harga yang sangat mahal”. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi, bahwa Abdullah bin rawahah berkata kepada Rasulullah SAW. Tak kala memberikan ba’iatnya kepada beliau di Aqabah. “ Syarat apakah yang engkau tuntut dari padaku untuk Tuhanmu dan dirimu sendiri?”
Rasulullah SAW menjawab dalam sabdanya:
Artinya: “Syaratku bagi Tuhanku, bahwa kamu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu kepad-Nya. Sedang bagi diriku, hendaklah kamu melindungiku sebagaimana kamu melindungi dirimu dan hartamu”. Lalu bertanya para sahabat,  imbalan apa yang kami peroleh bila kamu lakukan itu semua?.”Surga,” jawab Rasulullah dengan singkat yang disambut oleh para sahabat, “Jual beli yang menguntungkan, tidaklah kami akan batalkan atau minta dibatalkan”.
5.      Larangan Jual Beli Pada Saat Azan Kedua Jum’at

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dalam tafsir Depag pada  ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa apabila muazin mengumandangkan azan pada hari Jumat, maka hendaklah kita meninggalkan perniagaan dan segala usaha dunia serta bersegera ke mesjid untuk mendengarkan khutbah dan melaksanakan salat Jumat, dengan cara yang wajar, tidak berlari-lari, tetapi berjalan dengan tenang sampai ke mesjid, sebagaimana sabda Nabi SAW.

إذا أقيمت الصلاة فلا تأتوها وأنتم تسعون وأتوها وأنتم تمشون وعليكم السكينة والوقار فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا 

Artinya:
Apabila salat telah diiqamatkan janganlah kamu mendatanginya dalam keadaan tergesa-gesa, tetapi datangilah dalam keadaan berjalan biasa penuh ketenangan dan rasa mengagungkan(Nya). Apa yang engkau capai (dalam salat jemaah) kerjakanlah dan apa yang luput dari kamu sempurnakanlah sendiri.
(H.R Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah

Cara yang demikian itu seandainya seseorang mengetahui betapa besar pahala yang akan diperoleh orang yang mengerjakan salat Jumat dengan baik, maka melaksanakan perintah itu (memenuhi panggilan salat dan meninggalkan jual beli) adalah lebih baik dari pada tetap di tempat melaksanakan jual beli dan meneruskan usaha untuk memperoleh keuntungan dunia, sebagaimana firman Allah SWT:

والآخرة خير وأبقى 

Artinya:
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (Q.S Al A'la: 17)

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan beberapa hal yang terkait dengan jual  
beli:
1.      Islam merupakan agama yang seimbang (washatan), baik urusan dunia maupun urusan akhirat. Keduanya saling terkait antara satu dengan yang lainnya
2.      Untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia  Islam mensyariahkan jual beli sebagai sarana untuk melakukan transaksi sesuai keinginan manusia selama tidak bertentangan dengan syariah
3.      Dalam melakukan aktivitas jual beli hendaknya senantiasa ingat kepada Allah, melaksanakan kewajiban dan menghindari segala transaksi yang diharamkan dalam pandangan syariah
4.      Transaksi jual beli dapat dilaksanakan kepada siapa saja tanpa membedakan RAS selama transaksi itu tidak menghalalkan yang diharamkan dan menghalalkan yang diharamkan .



Daftar Pustaka
Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi. Al-Wajis. Ensiklopedi Fiqih Islam Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ad-shahihah, Pustaka As-Sunnah, Jakarta 2008
Ali Audah. Konkordansi Qur’an. Panduan Kata Dalam Mencari ayat qur’an, Litera  antar nusa,  2007 Indonesia
Aahmad bin ‘Abdurrazak ad-Duwaisy. Fatwa-Fatwa Jual Beli Oleh Ulama-Ulama Besar Terkemuka. Pustaka Imam Asy-Syafi’I Jakarta, 2004
Hendi Suhendi, DR. Fiqh Muamalah. PT Raja Grafindo Persada Jakarta, 2007
Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam,( Pola pembinaan Hidup dalam Ekonomi). -Cet II- cv. Diponegoro, Bandung, 1992.
Hisyam bin Muhammad said Aali Barghasy. Jual beli Secara Kredit. Penerbit At-Tibyan, Solo
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 5. PT.pustak panjimas, Jakarta ,1984.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan kesan dan keserasian, cet II.
Rosalinda, Fiqh Mu’amalah dan Aplikasinya Dalam Perbankan Syari’ah, cet I-Padang: Hayfa Press, 2005.
Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah, trj.Kamaluddin A, Marzuki dkk.-Cet,8- Bandung: al-ma’rif,   
         1996.

Salim Bahreisy. Terjemahan singkat tafsir Ibn Katsier, PT. Bina ilmu Surabaya,1987
Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Penerbit Gema Insani Press. Jakarta 2000
Shaleh Fauzan Bin Fauzan. Perbedaan jual beli dan Riba. Pustaka Al-Kautsar, 1997
         Jakarta Timur

 Ibnu Hajar Al-Ashqalani- Bulughul Maram
Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam. Syarah Bulughul Maram./ Penerbit Buku Islam
Rahmatan Jakarta, 2006

Ibnu Hajar Asqalani. Fathul Baari, Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, Penerbit Pustaka
Az-Azzam Jakarta, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar