Jual Beli Menurut Pandangan Islam.
(Kajian Maudhu’i)
By Idris Parakkasi
A. Pendahuluan
Setiap
orang mesti dan harus berusaha memenuhi kebutuhannya dengan segala kemampuan
dan cara yang ada. Tidak ada orang yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri
tanpa berinteraksi dan berhubungan dengan yang lain, sehinga diperlukan suatu
cara yang mengatur mereka dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, salah satunya adalah jual beli. Karena itulah
Allah mengkarunia hamba-hambaNya kemampuan dan naluri untuk mendapatkan apa
yang ia butuhkan dan menuntun hamba- Nya tersebut dengan aturan dan arahan yang
dapat menjauhkan mereka dari kemurkaan-Nya.
Dizaman sekarang masalah jual beli dan bentuk-bentuknya berkembang pesat dan
cukup pelik untuk dimengerti dari yang tradisional, konvensional sampai yang multi level. Hal ini
menuntut setiap muslim untuk mengerti hukum syariat tentang hal itu, ditambah dewasa ini kaum
muslimin sangat meremehkan dan tidak memperhatikan lagi masalah halal dan haram
dalam usaha mereka. Padahal kehalalan
satu usaha mencari nafkah merupakan masalah besar dan penting dalam pandangan
para salafussholeh. Mereka telah memberikan perhatian sangat besar dan serius
dalam hal ini, sebab ini sangat mempengaruhi makanan dan minuman yang dimakan
seseorang. Cukuplah bagi kita hadits nabi SAW yang berbunyi:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ
اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا
أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ
أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ
حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ
فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah
memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada
para rasul dalam firman-Nya,”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang
baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh .Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. (al-Mu’minun:
51).
Dan ia
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman ,makanlah di antara rezki yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu”, (Al-Baqarah: 172). Kemudian
beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya seperti debu mengulurkan
kedua tangannya ke langit sambil berdo’a: Ya Rabb,Ya Rabb, sedang makanannya
haram ,minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang
haram, maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?1”.
Ibnu Rajab Rahimakumullah
berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa
amal tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan makan makanan yang halal.
Sedangkan makan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya
tidak diterima.2”
1 Muslim dalam
kitab Az-Zakat no. 1015 dan At-Tirmidzi dalam kitab tafsirul Qur’an no. 2989 dan Ahmad
dalam
Baaqi Musnadil Miktsirin no. 1838 dan Ad-Dharimi dfalam kitab Ar-raqaiq
no. 2717
2Jamiul “ulumul
wal hikam (1:260)
Demikian juga
Prof. DR. Abdurrazaaq bin Abdulmuhsin Al ‘Abaad menjelaskan hadits ini dengan
menyatakan: ‘Rasulullah SAW memulai hadits ini dengan isyarat akan bahayanya
makan barang haram dan hal itu termasuk pencegah dikabulkannya do’a. Terfahami
darinya bahwa memperbagus makanan (halal dan baik ) menjadi salah satu sebab
dikabulkannya do’a, sebagaimana dikatakan Wah bin Munabbih: ‘Siapa yang ingin
dikabulkan Allah do’anya maka hendaklah memperbagus makanannya,
dan ketika Sa’d bin Abi Waqqash ditanya
mengenai sebab dikabulkan do’anya diantara para sahabat Rasulullah SAW beliau berkata, “Aku tidak mengangkat
sesuap makanan ke mulutku kecuali aku mengetahui dari mana datangnya dan dari
mana ia keluar.”
Perhatikan juga
sabda Rasulullah SAW ,
إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتْ النَّارُ
أَوْلَى بِهِ
”Sesungguhnya
tidak berkembang daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang
lebih pantas baginya.”
B.
Definisi Jual Beli
Pengertian secara bahasa dari kata bai’ adalah bentuk masdar kata ba’ata.
Kata-kata baa’a - yaabii’u mempunyai arti malaka waisytara (memiliki dan membeli) kata isytara sendiri ada kalanya mencakup kedua makna itu
juga. Kata bai’ itu sendiri berasal dari akar kata al- baa’i yang
berarti mengulurkan tangan. Hal ini disebabkan karena kedua belah pihak yang
terlibat jual beli saling mengulurkan tangan mereka untuk lil ba’i mengambil dan memberi. Jual
beli dikatakan juga bayya’aan
dari kata abaa’a ‘urdhahu atau menjajakan dagangannya untuk
dijual.3 Adapun al-ba’i secara syar’i
adalah pertukaran harta kepemilikan dan menjadi hak milik.4 Dalam
Al-Maghrib disebutkan kata ba’i termasuk adh-daad (memiliki dua
arti yang saling berlawanan). Dikatakan
seseorang melakukan ba’i terhadap sesuatu, artinya bila membeli atau
menjualnya. Dalam Ikhtiyaar disebutkan kata ba’i
secara bahasa artinya barter secara umum. Demikian juga arti kata syira,
baik itu dengan menggunakan harta atau benda lain. Firman Allah:
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَن:َّةَ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk
mereka. (QS. At-Taubah: 111)
3. Lihat Mukhtaar Ash-Shohhah, hal. 281
4.Lihat Al-Mughni, Vol. III, hal 56
Allah juga berfirman:
أُولَـئِكَ
الَّذِينَ اشْتَرَوُاْ الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ
فَمَآ أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
Mereka
itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan
ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka. (QS. Al-Baqarah:
175)
Dalam Raddul Mukhtaar arti kata Syiraa’ yaitu
penukaran sesuatu yang lain baik berupa harta ataupun bukan. Misalnya firnan
Allah:
وَشَرَوْهُ
بِثَمَنٍ بَخْس
“Dan
mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, (QS. Yusuf:20)
Terkadang
kata Al Ba’i juga digunakan dalam makna Asy-Syira’, demikian
sebaliknya5.
Menurut ulama
Hanafiyyah ba’i adalah menukar sesuatu yang disukai dengan sesuatu yang
senilai berdasarkan cara yang bermanfaat dan tertentu. Kalangan Malikiyyah
memiliki dua yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Jual beli secara umum
adalah transaksi tukar menukar yang tidak terbatas dalam fasilitas atau
kesenangan semata. Misalnya penukaran uang tunai (money changer) atau sharf,
murathalah.6
5 Fathul Baari. Kitab Al-Buyu jilid 12 hal. 3
6As-Sharf: Tukar menukar alat tukar dengan alat tukar
berbeda dalam suatu jenis, seperti emas dengan perak.
Murathalah menurut madzab Malikiyyah: Tukar menukar alat tukar dengan
alat tukar yang sama dalam suatu
jenis, seperti emas dengan emas
Jual beli secara khusus ialah ikatan tukar
menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan kelezatan yang mempunyai daya tarik,
penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada
seketika (tidak ditangguhkan), tidak
merupakan hutang baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang
yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.
Kalangan Syafi’iyyah memberi definisi bahwa
jual beli (ba’i) adalah tukar menukar suatu harta dengan harta yang lain
melalui cara yang khusus.7 Qurtubi mendefinisikan ba’i adalah transaksi penukaran benda
yang berujung kepemilikan sesuatu atau fasilitas tertentu secara permanen.
7Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’mi Al-Fadzil
minhaj (3:3)
C.
Penyebutan Jual
Beli dalam Al-Qur’an
1.
Term Jual Beli
Dalam
al-qur’an term jual beli dari kata tijarah terdapat 7 ayat. Kata yastarii
7 ayat dan kata ba’i ada 6 ayat. Adapun ayat-ayat tersebut dapat
dilihat dibawah ini:
2.
Ayat-Ayat Yang Terkait
Dengan Kata-Kata “Tijarah”
1.
QS. Al-Baqarah : 28
لِلشَّهَـدَةِ
وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَ أَن تَكُونَ تِجَـرَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
2. QS Al-Baqarah :16
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُاْ الضَّلَـلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت
تِّجَـرَتُهُمْ وَمَا كَانُواْ مُهْتَدِينَ
3. QS. An- Nisaa: 29
3. يَـأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ
تَأْكُلُواْ أَمْوَلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَـطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَـرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ
أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
4.QS. As-Shaaf : 10
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم
مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
.5. QS. Faatir : 29
إِنَّ الَّذِينَ
يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ
6. QS. At-Taubah: 24
قُلْ إِن كَانَ
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ
وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ
كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ
وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ
7. QS. An-Nuur: 37
رِجَالٌ لَّا
تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا
بَيْعٌ
3.
Ayat-Ayat Yang Terkait Dengan Kata-Kata “ Yastarii
“
1.
QS. Lukman: 6
وَمِنَ النَّاسِ مَن
يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
. 2. QS.Al-Baqarah: 79
فَوَيْلٌ
لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـذَا مِنْ
عِندِ اللّهِ لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا
كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُ
3.QS.
Al-Baqarah:174
إِنَّ الَّذِينَ
يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا
قَلِيلاً أُولَـئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلاَّ النَّارَ وَلاَ
يُكَلِّمُهُمُ اللّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيم .
4. QS. Al-Imran: 77
|
إِنَّ الَّذِينَ
اشْتَرَوُاْ الْكُفْرَ
بِالإِيمَانِ لَن يَضُرُّواْ اللّهَ شَيْئًا وَلهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
5. QS. Al-Imran:187
|
وَإِذْ أَخَذَ
اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ
تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاء ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْاْ بِهِ
ثَمَناً قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
6. QS. Al-Imran: 199
|
وَإِنَّ مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَن يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَآ
أُنزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلّهِ لاَ يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ
اللّهِ ثَمَنًا قَلِيلاً أُوْلَـئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ إِنَّ
اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
7. QS. An-Nisaa: 44
|
أَلَمْ تَرَ
إِلَى الَّذِينَ أُوتُواْ نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلاَلَةَ
وَيُرِيدُونَ أَن تَضِلُّواْ السَّبِيلَ
4.
Ayat-Ayat
Yang Terkait Dengan Kata-Kata “ Ba’i”
1. QS. Al-Baqarah: 275
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
2. QS. Al-Jumu’ah:9
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ
3.QS.Al-Baqarah: 254
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ
يَوْمٌ لاَّ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خُلَّةٌ وَلاَ شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
5.QS. Ibrahim: 31
قُل
لِّعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُواْ يُقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَيُنفِقُواْ مِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَّ بَيْعٌ
فِيهِ وَلاَ خِلاَلٌ
6. QS. An-Nuur : 37
رِجَالٌ لَّا
تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالْأَبْصَارُ
D.
Kajian Tafsir Maudhu’i
Beberapa Ayat Tentang Jual beli
1.
Allah SWT Mensyariahkan Jual
Beli dan Mengharamkan Riba
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba8 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila9. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)10; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba8 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila9. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)10; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
8 Riba itu ada
dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
9 Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
10Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
9 Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
10Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Penjelasan Mufradat Ayat
يَأْكُلُوْنَ الرِّبَ ا
“Mereka memakan riba.” Maksud memakan di sini adalah mengambil. Digunakannya istilah “makan” untuk makna mengambil, sebab tujuan mengambil (hasil riba tersebut) adalah memakannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qurthubi. Ini pula yang ditegaskan oleh Al-Imam At-Thabari dalam menafsirkan ayat ini. Beliau rahimahullahu berkata: “Maksud ayat ini dengan dilarangnya riba bukan semata karena memakannya saja, namun orang-orang yang menjadi sasaran dari turunnya ayat ini, pada hari itu makanan dan santapan mereka adalah dari hasil riba. Maka Allah menyebutkan berdasarkan sifat mereka dalam menjelaskan besarnya (dosa) yang mereka lakukan dari riba dan menganggap jelek keadaan mereka terhadap apa yang mereka peroleh untuk menjadi makanan-makanan mereka. Dalam firman-Nya Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
Ayat ini mengabarkan akan benarnya apa yang kami katakan dalam permasalahan ini, yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan segala hal yang memiliki makna riba. Sama saja baik melakukan aktivitas yang bernilai riba, memakannya, mengambilnya, atau memberikan (kepada yang lain). Sebagaimana permasalahan ini telah jelas keterangannya dari berbagai kabar yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ إِذَا عَلِمُوا بِهِ
“Allah melaknat yang memakan (hasil) riba, yang memberi riba, penulisnya, dan dua saksinya jika mereka mengetahuinya.” (Hadits ini diriwayatlan dari berbagai jalan, di antaranya riwayat Muslim dari Jabir, Ath-Thabarani dari Abdullah bin Mas’ud; Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari hadits Abdullah bin M
وَمَنْ عَاد َ
“Siapa yang kembali,” yaitu kembali melakukan praktek riba sampai dia mati. Ada pula yang mengatakan: “Barangsiapa yang kembali dengan ucapannya: ‘Sesungguhnya jual beli itu sama saja dengan riba’.
Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka peroleh dan kesulitan yang mereka hadapi di kemudian hari. Mereka tidak bangun dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan. Mereka khawatir dan penuh kecemasan akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat perbuatan mereka.
Sebagaimana terbaliknya akal mereka, yaitu dengan mereka mengatakan: Jual beli itu seperti riba. Perkataan ini tidaklah bersumber kecuali dari orang yang jahil yang sangat besar kejahilannya. Atau berpura-pura jahil yang keras penentangannya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas sesuai keadaan mereka, sehingga keadaan mereka seperti keadaan orang-orang gila.
Ada kemungkinan yang dimaksud dengan firman-Nya: “Mereka tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila,” yaitu pada saat hilangnya akal mereka untuk mencari penghasilan dengan cara riba, harapan mereka berkurang, dan akal mereka semakin melemah, sehingga keadaan dan gerakan mereka menyerupai orang-orang yang gila, tidak ada keteraturan gerakan, dan hilangnya akal yang meyebabkannya tidak memiliki adab.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam membantah mereka dan menjelaskan hikmah-Nya yang agung: “Dan Allah menghalalkan jual beli.”
Karena di dalamnya mengandung keumuman maslahat. Ia merupakan perkara yang sangat dibutuhkan dan akan menimbulkan kemudharatan bila diharamkan. Ini merupakan prinsip asal dalam menghalalkan segala jenis mata pencaharian hingga datangnya dalil yang menunjukkan larangan.
“Dan (Allah) mengharamkan riba,” karena di dalamnya yang mengandung kedzaliman dan akibat yang jelek.
Hukuman bagi
yang memakan / bertransaksi dengan riba baik dalam bentuk memberi ataupun
mengambil, adalah tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktifitas, melainkan
seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh syetan sehingga ia tak tahu
arah disebabkan oleh sentuhannya.
Menurut Quraish Shihab tidak tertutup kemungkinan
memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. Mereka yang mempraktekkan riba,
hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung dan berada dalam
ketidak pastian, disebabkan karena pikiran mereka yang tertuju kepada materi
dan penambahannya. Orang tersebut yang memakan riba_telah disentuh oleh setan
sehingga bingun tidak tahu arah.
Dalam tafsir Ibn Katsir bahwa orang-orang yang menentang hukum
Allah, dan berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba, seakan akan mereka
akan menggunakan qiyas yang terbalik dan keliru. Dan mengatakan “riba itu sama
saja dengan jual beli, tetapi karena mereka tidak mengakui tuntunan syariat yang
mengenai hukum jual beli yang halal dengan cara riba. Sedangkan dalam
tafsir Fi Zhilalil Qur’an kepandaian dan
kesungguhan seseorang serta keadaan-keadaan alamiah yang berlangsung dalam
kehidupan itulah yang menentukan untung ruginya. Sedangkan bisnis ribawi
keuntungannya sudah dipastikan dalam semua keadaan. Dan inilah perbedaan pokok
dan alasan penghalalan dan pengharaman. Sesungguhnya setiap bisnis yang
menjamin keuntungan dalam kondisi apapun adalah bisinis riba karena jaminan dan kepastian
keuntungan itu, hal tersebut bertentangan dengan rahasia Allah SWT tentang
pendapatan yang diperoleh manusi.12 Perbuatan riba pada dasarnya
merusak kehidupan manusia.
Dan Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Dua orang yang saling berjual
beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka
jika keduanya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya
12lihat Terjemahan Qur’an Departemen Agama RI QS.
Luqman ayat 34
(dari
aib dan cacat) maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila
keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut
barokah jual beli dari keduanya” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i, dan
shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)
Dan para
ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas
yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual
beli, karena
kebutuhan
manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau
sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya
kecuali
dengan
menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut
dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki. .
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau
bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang
bersih."
Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim.
Selain itu dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Ibn Abbas tentang kebolehan jual beli Rasulullah bersabda:
“Adalah Okazh, majannah dan dzul majaas
merupakan pasar (tempat transaksi jual beli) dimasa jahiliyah, dan ketika Islam
datang, orang-orang takut terjerumus dalam dosa…, maka diturunkanlah firman
Allah ‘iasyah ‘alaikum junaahun an tabtaghuu fadhlan min rabbikum..’ ( tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia {reziki} hasil perniagaan dari Tuhan…)”
(QS.2:198).
Begitu pula hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim Rasulullah Bersabda: “penjual dan pembeli keduanya mempunyai
hak untuk menentukan (menjadikan atau membatalkan) transaksi selama keduanya
belum berpisah.15
Telah terjadi kesepakatan (ijma’) dikalangan
ummat Islam akan bolehnya berniaga secara total,9. Selama tidak melalaikan dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang diwajibkan Allah sebagaimana dalam al-qur’an surah Al-Jumu’ah ayat 16
15Ketentuan ini berlaku selama tidak ada perjanjian lain yang disepakati
kedua belah pihak
16 Lihat Al-Mughni.
Vol. III, hal 560
2. Keseimbangan
Dalam Jual Beli Dengan Kewajiban Kepada Allah
Firman Allah :
QS. An Nuur :37
رِجَالٌ لَّا
تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالْأَبْصَارُ
Artinya: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari)
mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu
hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”.
Dalam tafsir Ibn Katsir Allah SWT menceritakan hamba-hamba-Nya dan
memperoleh pancaran nur iman dan takwa didada mereka, bahwa mereka tekun dalam
ibadahnya. Mereka tidak tergoda dan terganggu dari perniagaan dan jual beli,
mereka dapat membagi kewajiban ukhrawi dan kewajiban duniawi, sehingga tidak
sedikitpun tergeser amal dan kewajiban ukhrawi mereka oleh usaha duniawi mereka
sebagaimana hadis Rasulullah SAW:
Artinya; “ Berusahalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup
selama-lamanya dan usahalah untuk akhiratmu seakan akan-akan engkau akan mati
esok.
Ayat ini adalah dalam konteks penjelasan
tentang sifat-sifat orang mukmin yang menjadikan mereka wajar menerima petunjuk
menuju cahaya itu .disini dalam konteks tijarah dan buyu’.
Thabatthaba’i
berpendapat bahwa kata tijarah, jika
diperhadapkan dengan kata ba’i maka berarti kesinambungan dalam upaya dalam
mencari rezki dengan jalan jual beli, sedangkan bai’ adalah upaya jual beli yang menghasilkan keuntungan riil yang
sifatnya langsung. Penggalan ayat ini bagaikan menyatakan bahwa manusia-manusia
itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang mereka bersinambungan
guna mencari keuntungan.
Ibn ‘Asyur
memahami kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh
keuntungan dengan jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena kebutuhan akan harganya.
Dalam surat
an-Nur: 37 ini Allah menginformasikan bahwa orang yang mendapat pancaran Nur
Ilahi itu adalah orang yang tidak dilengahkan oleh tijarah, mereka selalu mengingat Allah, dan tidak pernah lupa atau
lalai sepanjang upaya mereka yang bersinambungan guna mencari keuntungan (tijarah) disaat-saat mereka melakukan
jual beli, mereka itu biasa dan meraih
keuntungan (bai’), merekapun tidak
lupa shalat pada saat-saat tertentu itu. Qatadah
berkata, mereka itu biasa melakukan
transaksi oleh jual beli dan berdagang.
Akan tetapi apabila turun kepada mereka salah satu hak Allah, niscaya mereka
tidak dilalaikan oleh perniagaan maupun jual beli dari berdzikir (mengingat)
kepada Allah hingga mereka menunaikan hak tersebut kepada Allah.
3. Kesaksian Dalam
Jual Beli/Mu’amalah QS. Al-Baqarah : 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ
يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ
شَيْئًا فَإن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لاَ
يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ
إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا
مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا
تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيدٌ وَإِن تَفْعَلُواْ فَإِنَّهُ
فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah8 tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,
(Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS.
Al-Baqarah(2): 282
Ayat ini yang
terpanjang dalam Al-Qur’an dan dikenal oleh ulama dengan ayat al-Madayanah (ayat utang piutang).
Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah sedekah, dapat
menimbulkan kesan bahwa al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang-orang yang
memiliki harta atau yang mengumpulkannya, kesan keliru itu dihapus melalui ayat
ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang
walau sedikit, serta mempersaksikannya.
a.
Perintah menulis
Perintah
menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam
arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya
jika mitra pandai tulis baca, dan apabila tidak pandai atau keduanya tidak
pandai maka mereka hendaknya mencari orang ke tiga sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Baqarah: 283
Dan hendaklah
seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil, artinya tidak
menyalahi ketentuan Allah dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat.
Dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis: 1. kemampuan menulis 2. Pengetahuan
tentang aturan, serta tata cara menulis perjanjian. Dan 3 Jujur
b. Saksi
Setelah
menjelaskan tentang penulisan, maka dilanjutkan dengan menyangkut persaksikan ,
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara
kamu. Kata yang digunakan ayat ini adalah syahidayn artinya
benar-benar wajar serta telah dikenal kejujuran sebagai saksi, dan telah
berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut
Sebagaimana
Allah berpesan kepada para penulis pun pada saksi, “Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” karena
keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Penulisan hutang piutang dan persaksian yang dibicarakan
itu lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuannya dan dalam
kenyaqtaan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih
membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tudak, menimbulkan
keraguan diantara kamu
b.
Gadai
“ Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
Al-Baqarah(2): 283
Dalam ayat ini
dijelaskan Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai)
dan bermu’amalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang) atau disebut juga gadai
Dari segi
bahasa gadai diambil dari pemahaman bahasa arab yaitu Rahn artinya tetap dan lestari, secara syara’
ia berarti menjadikan barang yang yangng mempunyai nilai harta menurut
pandangan syara’ saebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil hutang atu dia bisa mengambil sebagian( manfaat) barangnya itu.
Dalam ayat ini
menjelaskan jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi lagi, tetapi kepercayaan
atau amanah timbul balik. Hutang diterima oleh piutang, dan barang jaminan
diserahkan kepada pemberi hutang
4.
Jual Beli Dengan Allah ( QS.9:111
)
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ
فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي
التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ
فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
Tafsir Ibn
Katsir mengatakan bahwa Allah memberitahukan bahwa hamba-hamba-Nya yang mukmin
yang telah mengorbankan jiwanya dan harta bendanya di jalan Allah, akan diberi
tempat di surga sebagai ganti. Berkata Hasan Al Basri dan Qatadah bahwa “Allah
telah membeli dari hamba-hamba-Nya dengan harga yang sangat mahal”. Diriwayatkan
oleh Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi, bahwa Abdullah bin rawahah berkata kepada
Rasulullah SAW. Tak kala memberikan ba’iatnya kepada beliau di Aqabah. “ Syarat
apakah yang engkau tuntut dari padaku untuk Tuhanmu dan dirimu sendiri?”
Rasulullah SAW
menjawab dalam sabdanya:
Artinya:
“Syaratku bagi Tuhanku, bahwa kamu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu
kepad-Nya. Sedang bagi diriku, hendaklah kamu melindungiku sebagaimana kamu
melindungi dirimu dan hartamu”. Lalu bertanya para sahabat, imbalan apa yang kami peroleh bila kamu
lakukan itu semua?.”Surga,” jawab Rasulullah dengan singkat yang disambut oleh
para sahabat, “Jual beli yang menguntungkan, tidaklah kami akan batalkan atau
minta dibatalkan”.
5.
Larangan Jual Beli Pada Saat Azan Kedua Jum’at
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ
Dalam tafsir
Depag pada ayat ini Allah SWT
menerangkan bahwa apabila muazin mengumandangkan azan pada hari Jumat, maka
hendaklah kita meninggalkan perniagaan dan segala usaha dunia serta bersegera
ke mesjid untuk mendengarkan khutbah dan melaksanakan salat Jumat, dengan cara
yang wajar, tidak berlari-lari, tetapi berjalan dengan tenang sampai ke mesjid,
sebagaimana sabda Nabi SAW.
إذا أقيمت الصلاة فلا تأتوها وأنتم تسعون وأتوها وأنتم تمشون وعليكم السكينة والوقار فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا
إذا أقيمت الصلاة فلا تأتوها وأنتم تسعون وأتوها وأنتم تمشون وعليكم السكينة والوقار فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا
Artinya:
Apabila salat telah diiqamatkan janganlah kamu mendatanginya dalam keadaan tergesa-gesa, tetapi datangilah dalam keadaan berjalan biasa penuh ketenangan dan rasa mengagungkan(Nya). Apa yang engkau capai (dalam salat jemaah) kerjakanlah dan apa yang luput dari kamu sempurnakanlah sendiri.
(H.R Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Cara yang demikian itu seandainya seseorang mengetahui betapa besar pahala yang akan diperoleh orang yang mengerjakan salat Jumat dengan baik, maka melaksanakan perintah itu (memenuhi panggilan salat dan meninggalkan jual beli) adalah lebih baik dari pada tetap di tempat melaksanakan jual beli dan meneruskan usaha untuk memperoleh keuntungan dunia, sebagaimana firman Allah SWT:
والآخرة خير وأبقى
Artinya:
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (Q.S Al A'la: 17)
Kesimpulan
Dari uraian di
atas dapat kita simpulkan beberapa hal yang terkait dengan jual
beli:
1.
Islam merupakan agama yang seimbang (washatan),
baik urusan dunia maupun urusan akhirat. Keduanya saling terkait antara satu
dengan yang lainnya
2.
Untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia Islam mensyariahkan jual beli sebagai sarana
untuk melakukan transaksi sesuai keinginan manusia selama tidak bertentangan
dengan syariah
3.
Dalam melakukan aktivitas jual beli hendaknya senantiasa
ingat kepada Allah, melaksanakan kewajiban dan menghindari segala transaksi
yang diharamkan dalam pandangan syariah
4.
Transaksi jual beli dapat dilaksanakan kepada
siapa saja tanpa membedakan RAS selama transaksi itu tidak menghalalkan yang
diharamkan dan menghalalkan yang diharamkan .
Daftar Pustaka
Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi. Al-Wajis. Ensiklopedi Fiqih Islam
Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ad-shahihah, Pustaka As-Sunnah, Jakarta 2008
Ali Audah. Konkordansi Qur’an. Panduan Kata Dalam Mencari ayat qur’an,
Litera antar nusa, 2007 Indonesia
Aahmad bin ‘Abdurrazak ad-Duwaisy. Fatwa-Fatwa Jual Beli Oleh Ulama-Ulama
Besar Terkemuka. Pustaka Imam Asy-Syafi’I Jakarta, 2004
Hendi Suhendi, DR. Fiqh Muamalah. PT Raja Grafindo Persada Jakarta, 2007
Hamzah Ya’kub,
Kode Etik Dagang Menurut Islam,( Pola pembinaan Hidup dalam Ekonomi). -Cet II-
cv. Diponegoro, Bandung, 1992.
Hisyam bin
Muhammad said Aali Barghasy. Jual beli Secara Kredit. Penerbit At-Tibyan, Solo
http://salafidb.googlepages.com Nopember
2009
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 5. PT.pustak
panjimas, Jakarta ,1984.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan
kesan dan keserasian, cet II.
Rosalinda, Fiqh
Mu’amalah dan Aplikasinya Dalam Perbankan Syari’ah, cet I-Padang: Hayfa
Press, 2005.
Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah, trj.Kamaluddin A,
Marzuki dkk.-Cet,8- Bandung: al-ma’rif,
1996.
Salim Bahreisy. Terjemahan singkat tafsir Ibn
Katsier, PT. Bina ilmu Surabaya,1987
Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
Penerbit Gema Insani Press. Jakarta 2000
Shaleh Fauzan Bin Fauzan. Perbedaan jual beli
dan Riba. Pustaka Al-Kautsar, 1997
Jakarta Timur
Ibnu
Hajar Al-Ashqalani- Bulughul Maram
Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam. Syarah
Bulughul Maram./ Penerbit Buku Islam
Rahmatan Jakarta, 2006
Ibnu Hajar
Asqalani. Fathul Baari, Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, Penerbit Pustaka
Az-Azzam
Jakarta, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar