Selasa, 08 Mei 2012

DAMPAK NEGATIF SUAP DAN TERAPINYA PERSPEKTIF SYARIAH


                                          DAMPAK NEGATIF  SUAP  DAN TERAPINYA
PERSPEKTIF SYARIAH
By. Idris Parakkasi
Konsultan Ekonomi Syariah
 Wabah suap dewasa ini telah begitu menyebar dan merebak hampir disemua lini institusi, baik institusi pemerintah maupun swasta, mulai urusan yang paling sederhana sampai urusan yang paling komplik dimana ujung-ujungnya adalah uang dan urusan dipermudah. Hampir semua jaringan transaksi baik antar individu, antar kelompok, lembaga atau komunitas tertentu jarang sekali bersih dari debu-debu penyakit suap. Kendati beberapa perundang-undangan konvensional telah berusaha menjerat dan menghukum para penerima suap beserta orang-orang yang terkait dan terlibat  bersama mereka, namun ternyata kebobrokan agama, moral, sosial, ekonomi dan politik telah memandulkan efektivitas perundang-undangan tersebut. Bahkan nyaris hukum dan penegak hukum bertekuk lutut dari “mahluk” suap. Para pecundang, baik  penyuap, tersuap dan broker suap berupaya mempercantik dan memperindah istilah suap dengan membubuhinya dengan label-label nama yang beragam, seperti hadiah, honorarium, komisi, bea  konsultasi, tip, pelicin, balas jasa, uang tunjuk dan pemerdaya lainnya. Suap bisa dikatakan sebagai penghasilan yang diperoleh tanpa jerih payah yang tidak dimasukkan kedalam kas negara. Suap juga merupakan bentuk pengkorupsian dan penelantaran  uang rakyat tanpa guna dan manfaat yang dapat dinikmati bersama. Karena wabah inilah pembangunan ekonomi tidak bisa berjalan  menurut konsep yang benar dan lurus sehingga pembangunan ekonomi tidak berjalan secara efesien dan efektif bahkan biaya ekonomi cukup membengkak, akibatnya pembangunan ekonomi terbengkalai dan tidak dirasakan secara optimal oleh masyarakat secara adil. Seandainya uang suap yang dikeluarkan dialokasikan untuk proyek-proyek investasi dan menggerakkan sektor riil diharapkan dapat menyerap dan mempekerjakan tenaga pengangguran, mengangkat harkat orang miskin, membangun infrastruktur dan menggerakkan ekonomi. Selain itu budaya suap dapat merusak tatanan manajemen dan birokrasi, karena suap akan menghindari prosedur yang ada bahkan sangat mudah untuk diabaikan sehingga manajemen tidak lagi efektif yang akibatnya banyak pihak yang dirugikan. Hak-hak orang lain dapat dinjak-injak dan disepelekan sehingga manajemen kurang terkontrol dan menyebabkan sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari segi  moral, karena uang suap yang diterima tidak memiliki kekuatan ekonomis lantaran diperoleh tanpa jerih payah dan usaha yang berat, maka ia pun kemudian digunakan untuk foya-foya, maksiat dan hal-hal yang tidak berguna karena sudah hilang keberkahannya. Olehnya itu Rasulullah SAW memberi peringatan tegas untuk menjauhi praktik suap, beliau bersabda; Allah melaknat orang yang memberi suap, penerima suap sekaligus broker suap yang menjadi penghubung antara keduanya. (HR. Ahmad)
Bagaimana hukum suap dalam perspektif syariah?. Pertama, suap termasuk salah satu bentuk perampasan harta orang lain dengan cara yang kotor, batil  dan semena-mena. (QS. Al-Baqarah:188). Kedua, Pihak-pihak yang terlibat dalam praktik suap;  penyuap, tersuap dan broker suap termasuk pembuat kerusakan dimuka bumi yang harus  mendapat hukuman seberat-beratnya. (QS. Al-Maidah: 33). Ketiga jika orang yang menerima suap berposisi sebagai hakim yang mengadili perkara, maka tentu akan memberikan putusan tidak  sesuai yang sebenarnya, maka ini termasuk memakan harta orang lian dengan cara batil, kefasikan, kezaliman serta kekufuran (QS. Al-Maidah: 44,45, dan 47; 2: 188).  Keempat, penyebaran wabah suap telah menimbulkan ketimpangan sosial. Orang miskin semakin miskin karena tidak dapat memberikan uang suap untuk memperoleh haknya, sementara yang kaya semakin kaya bahkan merampas hak orang lemah dan miskin dengan modal uang suap yang dimilikinya. Hal ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat memancing kebencian dan permusuhan sehingga terputuslah jalinan kasih sayang, empati dan persaudaraan diantara manusia. Kelima, suap memicu penyebaran penyakit-penyakit mental dengan rasa gelisah dan tidak aman, rasa was-was, rasa takut, hilangnya kepercayaan  serta integritas diri. Keenam, pihak-pihak yang terlibat praktik suap tertutup kucuran rahmat dan kasih sayang Allah, keberkahan rezeki dan tidak terkabulnya do’a serta azab yang pedih di akhirat menanti. Rasulullah bersabda: setiap tubuh yang tumbuh dari hasil uang/harta haram maka neraka lebih utama baginya.
Apa penyebab Budaya Suap? Pertama,  tidak adanya komitmen pejabat atau pegawai serta pelaku transaksi dalam memegang nilai-nilai keimanan bahwa dia senantiasa diawasi oleh Allah SWT yang semuanya akan dipertanggung jawabkan pada hari kemudian. Kedua, tidak adanya komitmen dalam menegakkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, ketegasan, lurus, benar, bersih, rasa malu, harga diri dan menjaga kehormatan diri. Ketiga,  tidak adanya sistem pemantauan dan pengawasan yang efektif dari atasan dan bawahannya dan meskipun ada cenderung disepelekan karena tidak ada komitmen bersama menegakkan serta hilangnya keteladanan. Keempat, merebaknya budaya nepotisme, basa-basi, makelaran, asal bapak senang (ABS) dan budaya semua bisa diatur dan dibeli dengan uang.  Kelima, tidak ditegakkannya hukum syariah yang tegas dan tidak pandang bulu sehingga hukum dapat dipermainkan bahkan hukum dapat dibeli. Keenam, hilangnya nilai-nilai keadilan, kepedulian, kesehajaan dalam kehidupan sosial ekonomi sehingga membuka setiap orang untuk menghalalkan segala macam cara untuk memenuhi kebutuhannya. Ketujuh, budaya individualis,  meterialisme, dan hedonisme serta berkurangnya  ruh ilahiyah sehingga menutup hati untuk menjaga integritas diri. Bagaimana terapi Islam mengatasi budaya suap? Pertama, penumbuhan nilai-nilai keimanan dengan keyakinan bahwa kita selalu diawasi oleh Allah (ihsan) yang nantinya akan dibalas oleh Allah baik didunia mapun pada hari pengadilan akhirat nanti. Kedua, penempatan nilai-nilai moral bahwa kerja adalah ibadah. Olehnya itu perlunya dijaga kepercayaan, tanggungjawab, kemuliaan, kehormatan, dan nilai-nilai keluhuran. Ketiga penguatan komitmen untuk berperilaku lurus, benar dan jujur dalam segala perkataan dan tindakan. Keempat, pembangunan sistem pengawasan aktif untuk memantau kerja pelayanan publik dalam memastikan bahwa seseorang bekerja sesuai aturan dan syariat Allah. Kelima, penerapan sistem reward dan punishment yang mengacu pada rasa keadilan dan persamaan tanpa membeda-bedakan antara atasan dan bawahan, kaya ataupun miskin, pejabat atau orang awam (QS. Al-Maidah:8). Keenam, pengkajian ulang sistem dan prosedur kerja yang lebih simple dan mudah, professional  serta trasparan sehingga memudahkan menyelesaikan urusan seseorang dan menghindari prosedur yang berbeli-belit. Ketujuh, pengkajian ulang sistem penggajian, upah, sehingga setiap orang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan jumlah yang cukup sambil tetap menjaga agama, akal, kehormatan dan hartanya. Kedelapan, panutan yang baik terutama para pemimpin, pejabat, tokoh masyarakat/agama serta menciptakan budaya bersih, jujur, trasparan, dan saling membantu dengan tetap menjaga profesinalisme. Wallahu ‘Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar