Etika Konsumsi Dalam Perspektif Syariah
By. Idris Parakkasi
Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap prilaku
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah
konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan
konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemasalahatan hidupnya. Jika manusia
dapat melakukan aktivitas konsumsi sesuai dengan ketentuan syariah, maka ia
akan membawa perilakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya. Etika
komsumsi dalam Islam mengutamakan mashlahah/manfaat dan menghindari israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan) uang/harta tanpa guna.
Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa.
Sehingga konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi, tetapi yang tujuan yang utama adalah konsumsi
untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang lahir dan batin. Konsumsi merupakan
seruan dari Allah kepada manusia untuk hidupnya di dunia ini agar dapat menjalankan
perannnya sebagai khalifah di bumi. Sehingga segala hal yang kita lakukan di
dunia ini tidak terlepas dari norma-norma ilahiyah sehingga dalam hal konsumsi
pun kita harus mengikuti kaidah-kaidah ilahiyah.
Konsumsi dalam Islam mempunyai ciri-ciri : Pertama, tidak ada perbedaan antara
pengeluaran belanja yang bersifat spiritual maupun material. Kedua, konsumsi tidak dibatasi hanya
pada kebutuhan dasar akan tetapi mencakup kesenangan–kesenangan dan bahkan
barang-barang mewah yang dihalalkan. Ketiga
aktivitas komsumsi harus memperhatikan aspek sosial ekonomi (sedekah) dan lingkungan agar tidak memberikan efek
emosional negatif atau mudharat kepada orang lain. Keempat. Perlunya kesesuaian antara komsumsi dengan tingkat
pendapatan (QS. Ath-Thalaq: 7) Kelima, tidak memberikan efek yang buruk terhadap
lingkungan dan keseimbangan alam. Keenam,
mengalokasikan sebagaian untuk kegiatan saving dan investasi. Pada ciri yang pertama merupakan karakteristik
dari ajaran Islam itu sendiri, di mana tidak adanya sekularisasi di dalam
kehidupan. Segala yang kita lakukan di dunia ini merupakan bekal kita di
akhirat dan kita akan diminta pertanggung jawabannya di akhirat nanti seperti
firman Allah, “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua,
tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu” .Hal ini merupakan penekanan
akan kegiatan konsumsi kita yang tidak hanya berorientasikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup di dunia tetapi dengan melakukan konsumsi itu kita bertujuan
juga untuk dapat beribadah kepada Allah, menjalankan aktivitas dakwah dan
beramal sholeh serta memberi mashlahah yang di dasari oleh aturan-aturan
konsumsi dalam Islam. Pada ciri yang kedua, Islam membolehkan kita untuk
menikmati konsumsi barang dan jasa yang dihalalkan yang diluar kebutuhan
primer. Islam membolehkan seorang muslim untuk menikmati berbagai karunia
kehidupan dunia, tidak seperti pada ajaran tertentu dimana untuk mencapai
makam/kesucian tertentu harus meninggalkan
kenikmatan dunia. Allah berfirman (QS.7:32) “Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (
siapa pulakah yang mengharamkan ) rezeki yang baik? Namun, Islam membatasi pembolehan
ini kepada pemborosan, kemewahan dan kesombongan seperti dalam firman-Nya “ Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Hal lain yang harus
diperhatikan dalam komsumsi ada 2 hal penting. Pertama, Halal artinya boleh
atau mubah jika berkaitan dengan sesuatu yang dikonsumsi, maka artinya boleh dikonsumsi
dan ini berarti tidak mengandung bahan-bahan atau sumber komsumsi yang haram.
Dasar pertama yang ditetapkan Islam adalah bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah kecuali karena
ada nash yang sah dan tegas yang melarangnya. Allah SWT memerintahkan kita untuk makan makanan yang
halal, dalam firman-Nya (QS.2:168) : “
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi. Dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an,
Allah membolehkan manusia seluruhnya memakan makanan yang telah diberikan Allah
di bumi ini, yang halal dan yang baik saja, sebab yang haram itu sudah jelas.
Dalam haditsnya , Nabi bersabda, “ Sesuatu yang haram sudah jelas dan sesuatu
yang haram juga sudah jelas. Kedua,
baik (thayyib) sesuatu yang baik adalah
setiap sesuatu yang terasa lezat, tidak memberi mudharat dan yang didapatkannya dengan baik, serta
bersih dari hal-hal yang dimakruhkan.
Pendekatan
nilai guna barang dianggap manfaat atau kenikmatan yang diperoleh seorang konsumen
dapat dinyatakan secara kuantitatif maupun kualitatif. Konsumen akan
memaksimumkan kepuasan yang dapat dicapainya. Kalau kepuasan itu semakin tinggi
maka makin tinggilah nilai gunanya atau utilitinya. Nilai guna dibedakan dengan
dua pengertian yaitu nilai guna total dan nilai guna marginal. Nilai guna total
dapat diartikan sebagai jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dari mengkomsumsi
sejumlah barang tertentu. Sedangkan nilai guna marginal berarti penambahan
kepuasan sebagai akibat dan pertambahan penggunaan satu unit barang. Bagaimana
konsep kebutuhan dalam Islam? Kebutuhan adalah senilai dengan keinginan. Di
mana keinginan ditentukan oleh konsep kepuasan. Dalam perspektif Islam
kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah atau manfaat.
Teori ekonomi konvensional menjabarkan kepuasan seperti
memiliki barang dan jasa untuk memuaskan keinginan manusia. Kepuasan ditentukan
secara subyektif. Tiap-tiap orang memiliki atau mencapai kepuasannya menurut
ukuran atau kriterianya sendiri. Suatu aktivitas ekonomi untuk menghasilkan sesuatu
adalah didorong karena adanya kegunaan dalam suatu barang. Jika sesuatu itu
dapat memenuhi kebutuhan maka manusia akan melakukan usaha untuk mengkonsumsi
sesuatu itu. Maslahah adalah pemilikan atau kekuatan barang dan jasa yang
mengandung elemen-elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini .
mashlahah dibagi atas tiga yaitu :
kebutuhan (daruriyah), pelengkap ( hajiyah), perbaikan (tahsiniyah). Daruriyah , yaitu sesuatu yang wajib
adanya yang menjadi pokok kebutuhan hidup untuk menegakkan kemaslahatan
manusia. Hal-hal yang bersifat daruriyah bagi manusia dalam pengertian ini
berpangkal pada memelihara lima hal yaitu : agama, jiwa , akal, kehormatan, dan
harta. Jadi memelihara satu dari lima hal itu merupakan kepentingan yang
bersifat primer bagi manusia. Hajiyah,
ialah suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan, lapang
dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan kehidupan. Faktor eksternal
dalam hal ini berpangkal pada tujuan menghilangkan kesulitan dan beban hidup
sehingga memudahkan mereka dalam merealisasikan tata cara pergaulan, perubahan
zaman dan menempuh kehidupan. Tahsiniyah
ialah sesuatu yang diperlukan dalam membangun tatanan kehidupan yang lebih
mapan dan sejahtera. Hal yang bersifat tahsiniyah berpangkal dari tradisi yang
baik dan segala tujuan peri kehidupan manusia menuju kehidupan yang lebih
bermartabat.
Preferensi Konsumsi yang Islami meliputi. Pertama, Mengutamakan akhirat dari pada
dunia. Pada tataran paling dasar, seorang muslim akan dihadapkan pada pilihan
di antara mengkonsumsi benda ekonomi yang bersifat duniawi belaka .Kedua konsumsi untuk ibadah, orientasi komsumsi ini bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan
konsumsi untuk duniawi. Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi karena
orientasinya kepada falah yang akan mendapatkan pahala dari Allah, sehingga
lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat kelak. Konsumsi untuk ibadah pada
hakekatnya adalah konsumsi untuk masa depan, sementara konsumsi duniawi adalah
konsumsi untuk masa sekarang. Semakin besar konsumsi untuk ibadah maka semakin
tinggi pula falah yang dicapai , demikian pula sebaliknya. Semakin besar
konsumsi duniawi maka semakin rendah falah yang dicapai Dengan melihat tujuan
utama berkonsumsi serta metode alokasi preferensi konsumsi maka dapat
disimpulkan bahwa penggerak awal kegiatan konsumsi dalam ekonomi konvensional
adalah adanya keinginan (want) . Seseorang berkonsumsi karena ingin memenuhi
keinginannya sehingga dapat mencapai kepuasan yang maksimal. Islam menolak
perilaku manusia untuk selalu memenuhi segala keinginannya, karena pada
dasarnya manusia memiliki kecendrungan terhadap keinginan yang baik dan
keinginan yang buruk sekaligus. Keinginan manusia didorong oleh suatu kekuatan
dari dalam diri manusia yang bersifat pribadi dan karenanya seringkali berbeda
dari satu orang dengan orang lain. Keinginan seringkali tidak selalu sejalan
dengan rasionalitas, karenanya bersifat tidak terbatas dalam kuantitas dan
kualitasnya. Kekuatan dari dalam diri disebut jiwa atau hawa nafsu yang memang
menjadi penggerak utama seluruh perilaku manusia. Dalam ajaran Islam manusia
harus mengendalikan dan mengarahkan keinginannya sehingga dapat membawa
kemanfaatan dan bukan kerugian bagi kehidupan dunia dan akhirat. Keinginan yang
sudah dikendalikan dan diarahkan sehingga membawa kemanfaatan ini dapat disebut
dengan kebutuhan. Kebutuhan lahir dari suatu pemikiran secara obyektif atas
berbagai sarana yang diperlukan untuk mendapatkan suatu manfaat bagi kehidupan.
Kebutuhan dituntun oleh rasionalitas normatif dan positif yaitu rasionalitas
ajaran Islam sehingga bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan
kualitasnya.Hal ini merupakan dasar dan tujuan dari syariah Islam yaitu
maslahat al ibad ( kesejahteraan hakiki bagi manusia) dan sekaligus sebagai
cara untuk mendapatkan falah yang maksimum. Wallahu’Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar