Selasa, 08 Mei 2012

Hijrah Sebagai Momen Perubahan



 




















Idris Parakkasi
Konsultan Ekonomi Syariah
Hijrah Sebagai Momen Perubahan
 Hampir dapat dipastikan, tidak ada kesuksesan tanpa sebuah prinsip. Betapapun rapinya suatu program, jika tanpa ada prinsip yang dijadikan pedoman maka tidak akan dicapai hasil yang memuaskan. Bahkan boleh jadi semuanya akan kacau tak terarah. Demikian halnya dengan program hidup manusia, mutlak memerlukan prinsip yang diharapkan menjadi dasar dalam berbuat untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan. Supaya semua itu dapat tercapai, maka prinsip hidup yang telah diyakini harus senantiasa dijaga, dipelihara, dilestarikan dan dipertahankan sampai akhir hayat manusia. Sebagai seorang muslim yang taat, kita tidak boleh terlepas dari sebuah prinsip. Dan prinsip hidup kita adalah sesuatu yang paling menentukan kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Ada tiga prinsip hidup muslim yang tercantum dalam QS. 2:218, QS. 8:174 dan QS. 9:20 yaitu iman, hijrah dan jihad atau secara umum kita sebut keyakinan, perubahan dan perjuangan. Ketiga prinsip hidup tersebut harus berjalan serasi, sejalan dan seiring agar tujuan hidup manusia yaitu bahagia dunian dan akhirat dapat tercapai Keyakinan adalah dasar untuk berjuang dalam melakukan perubahan. Dan sangat mustahil ada perubahan tanpa perjuangan. Demikian halnya, mustahil ada perjuangan tanpa ada keyakinan. Alloh swt berfirman dalam QS. Ar-Ra’du:11  Sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri Hijrah, sebagai salah satu prinsip hidup, harus senantiasa kita maknai dengan benar. Secara bahasa hijrah berarti meninggalkan. seseorang dikatakan hijrah jika telah memenuhi 2 syarat, yaitu pertama ada sesuatu yang ditinggalkan dan kedua ada sesuatu yang dituju (tujuan). Kedua-duanya harus dipenuhi oleh seorang yang berhijrah.  Dalam realita sejarah hijrah senantiasa dikaitkan dengan meninggalkan suatu tempat, yaitu adanya peristiwa hijrah Nabi dan dan para sahabat meninggalkan tempat yang tidak kondusif untuk berdakwah. Bahkan peristiwa hijrah itulah yang dijadikan dasar umat Islam sebagai permulaan tahun Hijriyyah. Dalam suasana tahun baru Hijriyyah 1432 saat ini, mari kita kembali meletakkan pemahaman yang benar tentang hijrah. Hijrah tidak hanya berarti meninggalkan tempat tetapi juga berarti meninggalkan sikap/perbuatan. Dari sikap/perbuatan yang tidak diridhoi Alloh menuju sikap/perbuatan yang diridhoi Alloh swt.  Secara maknawi hijrah dibedakan menjadi lima macam, yaitu: Pertama, Hijrah I’tiqodiyyah I’tiqodiyah atau keyakinan adalah sesuatu yang menjadi penentu setiap amal kita. Tanpa sebuah keyakinan dalam setiap amal, niscaya tidak akan sukses amal tersebut. Karena begitu pentingnya i’tiqodiyah yang benar  dalam diri kita, maka inilah sesuatu yang pertama kali harus kita hijrahkan. Diakui atau tidak, selama hidup ini, kita sering bersinggungan dengan keyakinan yang kurang benar, baik dalam hal kesehatan, pekerjaan, reski, jodoh dan lain sebagainya. Dan terkadang tidak banyak di antara kita yang menyadarinya padahal perbuatannya sudah mendekati bahkan masuk dalam ruang kesyirikan. Anehnya bentuk-bentuk perbuatan yang mendekati pengotoran keyakinan saat ini mulai dilegalkan. Dengan sedikit memolesnya, seolah pelanggaran keyakinan tersebut menjadi tak masalah. Coba kita lihat acara-acara TV, yg sudah secara vulgar mendukung bentuk pelanggaran keyakinan  tersebut, misalnya ramalan jodoh, ramalan nasib, praktik perdukunan modern dsb. Hijrah i’tiqodiyah, menjadi sebuah keharusan bagi setipa muslim, sehingga ia menjadi seorang muslim yang sebenarnya, muslim yang memiliki salimul aqidah. Kedua, hijrah fikriyyah atau pola pemikiran. Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, seolah dunia tanpa batas. Berbagai informasi dan pemikiran dari belahan bumi bisa secara online kita akses. Sebenarnya tak jadi masalah selama informasi dan pemikiran tersebut sejalan dengan Islam, karena hal itu justeru akan memperkaya pemikiran  keIslaman kita. Yang jadi masalah adalah apabila pemikiran tersebut menyimpang dari ajaran Islam, dan lebih parah lagi kita tak menyadarinya. maka tak diragukan lagi, pasti kita akan terpengaruh olehnya. Dunia yang kita tempati saat ini, sebenarnya telah menjadi medan perang yang kasat mata. Medan perang yang ada tapi tak disadari keberadaannya oleh kebanyakan manusia. Genderang perang telah dipukul dalam medan yang namanya “Ghoswul Fikr” (baca: Perang Pemikiran). Tak heran berbagai pemikiran telah tersebar di medan perang tersebut laksana amunisi dari senjata-senjata perenggut nyawa. Isu sekularisasi, kapitalisasi, liberalisasi, pluralisasi, bahkan demokratisasi tanpa arah telah menyusup ke dalam sendi-sendi dasar pemikiran kita yang murni. Ia menjadi virus ganas yang sulit terdeteksi oleh kaca mata pemikiran Islam. Keberadaannya samar dan dipoles dengan nilai-nilai yang seolah Islami. Munculnya Jaringan Islam Liberal tak ayal, juga merupakan dampak virus ganas tersebut. Hijrah fikriyah menjadi sangat penting mengingat kemungkinan besar pemikiran kita telah terserang virus ganas tersebut. Mari kita kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Islam yang murni. Pemikiran yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, melalui para sahabat, tabi’in, tabi’t tabi’in dan para generasi pengikut salaf. Ketiga, Hijrah Syu’uriyyah  atau cita rasa, kesenangan, kesukaan dan semisalnya, semua yang ada pada diri kita sering terpengaruhi oleh nilai-nilai yang kurang Islami. Banyak hal seperti hiburan, musik, bacaan, gambar/hiasan, pakaian, , idola, organisasi, dan banyak lagi, semua tak luput dari pengaruh nilai-nilai di luar Islam. Kalau kita perhatikan, hiburan dan musik seorang muslim tak jauh beda dengan hiburannya para penganut paham permisifisme dan hedonisme, berbau hura-hura dan senang-senang belaka. Padahal tidak ada hiburan seorang muslim yang lebih baik dari pada lantunan, tadabbur dan aplikasi dari ayat-ayat Al-Qur’an. Apakah Bacaan yang sering dilupakan oleh seorang muslim? Jawabnya tak lain adalah Al-Qur’an. Bagaimana mungkin, padahal ia tahu bahwa al-Qur’an adalah petunjuk hidupnya yang akan menyelamatkannya dari kegelapan menuju cahaya? Coba renungkan berapa lama Anda membaca Al-Qur’an dalam sehari? Coba bandingkan dengan koran, majalah, gosip, berita di TV, di internet yang Anda baca dalam sehari. Adilkah?. Mode pakaian juga tak kalah pentingnya untuk kita hijrahkan. Hijrah dari pakaian gaya jahiliyah menuju pakaian Islami, yaitu pakaian yang benar-benar mengedepankan fungsi bukan gaya. Apa fungsi pakaian? Tak lain hanyalah untuk menutup aurat, bukan justeru memamerkan aurat. Ironis memang, banyak diantara manusia berpakaian tapi aurat masih terbuka. Kata Nabi, berpakaian tapi telanjang. Ada yang sudah tertutup tapi ketat dan transparan, sehingga lekuk tubuhnya bahkan warna kulitnya terlihat. Dan masih banyak model-model pakaian masa kini yang nyeleneh-nyeleneh. Keempat, Hijrah Sulukiyyah yaitu tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut juga akhlaq. Dalam perjalanannya akhlaq dan kepribadian manusia tidak terlepas dari degradasi dan pergeseran nilai. Pergeseran dari kepribadian mulia (akhlaqul karimah) menuju kepribadian tercela (akhlaqus sayyi’ah). Sehingga tidak aneh jika bermunculan berbagai tindak amoral dan asusila di masyarakat. Pencurian, perampokan, pembunuhan, anarkis, pelecehan, pemerkosaan, penghinaan, gosip dan penganiayaan seolah telah menjadi biasa dalam masyarakat kita. Penipuan, korupsi, prostitusi, suap dan manipulasi hampir bisa ditemui di mana-mana. Kelima, hijrah amaliah adalah buah keyakinan, pemikiran dan cita rasa dalam Islam. Setiap muslim harus memiliki komitmen untuk menerapkan nilai-nilai syariah Islam baik yang terkait dengan ibadah maupun muamalah. Dalam muamalah mari kita menegakkan ekonomi Islam yang kita yakini dapat menjadi solusi terhadap keterpurukan dan kesenjangan ekonomi. Sehingga dapat mewujudkan tatanan ekonomi yang berkeadilan, sejahtera, harmonis dan memberikan kebahagiaan dunia akhirat. Begitu pula dalam bidang lain seperti bidang politik, pendidikan, sosial, budaya, , militer dan lingkungan dengan berupaya menerapkan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu dalam momen hijrah ini mari kita melakukan evaluasi terhadap masa yang telah  kita lewati untuk melakukan perubahan yang lebih baik dimasa yang akan datang agar kita tidak termasuk orang yang merugi. Sesungguhnya orang yang beruntung adalah hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih hebat dibandingkan hari ini. Kesuksesan hanya dapat dicapai dengan perubahan  dan perubahan memerlukan perjuangan. Wallahu ‘Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar