Idris Parakkasi
Konsultan Ekonomi Syariah
A. Pendahuluan
Zakat, sebagai rukun Islam yang ketiga,
merupakan instrumen utama dalam ajaranIslam, yang berfungsi sebagai distributor
aliran kekayaan dari tangan the have kepada the have not. Ia
merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan
keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat
ditingkatkan. Al-Qur’an dalam surat at-Taubah ayat 103 menjelaskan bahwa zakat
itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki)
untuk kemudian diberikan kepada golongan yang berhak menerimannya.Bagian yang
tak terpisahkan dari zakat adalah muzakki, mustahiq dan ’amil.
Muzakkiadalah seorang Muslim yang dibebani kewajiban mengeluarkan zakat
disebabkan terdapat kemampuan harta setelah sampai nisab dan haulnya.
Mustahiq adalah seorang Muslim yangberhak memperoleh bagian dari harta
zakat disebabkan termasuk dalam salah satu 8 asnaf (golongan penerima
zakat), yaitu fakir, miskin, ’amil, muallaf, untuk memerdekan budak,orang
yang berutang, fi sabilillah, orang yang sedang dalam perjalanan.
Sedangkan ’amil adalah badan atau lembaga yang ditugaskan untuk
mengumpulkan zakat dari muzakki danmendistribusikan harta zakat tersebut
kepada para mustahiq. Di
samping pada sisi yang lain’amil juga termasuk dari salah satu 8 asnaf
di atas, sebagaimana terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 60.Peranan ’amil menjadi
sangat penting, karena ia merupakan badan atau lembaga perantara antara muzakki
dan mustahiq, walaupun pada prinsipnya muzakki dapat langsung
menyerahkan zakatnya kepada mustahiq. Tetapi sebagaimana dijelaskan
dalam Alquran surah At-Taubah: 103 bahwa zakat itu diambil dari orang-orang
yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada
mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan yang menjemput
tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurthubi ketika menafsirkan ayat 60
surah at-Taubah menyatakan bahwa ‘amil itu adalah orang-orangyang ditugaskan
(diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan
mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian diberikan
kepada yang berhak menerimanya.[1]
Pada awal diwajibkannya zakat pada masa Rasulullah SAW, pelaksanaan zakat ditangani
sendiri oleh Rasul SAW. Beliau mengirim para petugasnya untuk menarik zakat dar
orang-orang yang ditetapkan sebagai pembayar zakat, lalu dicatat, dikumpulkan,
dijaga dan akhirnya dibagikan kepada para penerima zakat (al-asnaf
al-samaniyyah).[2]
Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama
Ibnu Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.[3]
Pernah pula mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat.[4]
Muaz bin Jabal pernah diutus Rasulullah saw pergi ke Yaman, disamping bertugas
sebagai da’i (menjelaskan ajaran Islam secara umum), juga mempunyai tugas
khusus menjadi amil zakat.[5]
Demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur-rasyidin sesudahnya,
mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan
maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang memiliki
kewajiban berzakat) melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada
mustahik, menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal
karitatif (kedermawanan), tetapi juga ia suatu kewajiban yang juga bersifat
otoritatif (ijbari).[6] Di
Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D / 291 tahun 2000
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam
peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar,
misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya
(tidak mau berzakat), akan tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya
pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh
masyarakat. Sistem distribusi zakat dapat dikategorikan kepada dua; secara
konsumtif dan secara produktif. Secara konsumtif berarti harta zakat dibagikan
langsung kepada mustahiq yang siap untuk dimanfaatkan secara konsumtif.
Sementara harta zakat didistribusikan secara produktif berarti mustahiq tidak
menerima harta zakat yang langsung dimanfaatkan untuk dikonsumsi, tetapi harus
diusahakan terlebih dahulu, baik oleh mustahiq sendiri maupun oleh lembaga amil,
yang dikonsumsi adalah hasil dari usaha tersebut. Zakat adalah ibadah maaliyah
ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang penting, strategis dan menentukan,
baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.[7] Sebagai
suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan
dalam berbagai Hadits Nabi, sehingga keberadaannya dianggap ma`lum minaddien
bi adl-dlaurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian
mutlak dari ke- mensejajarkan shalat dan
kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata. Dari sisi pembangunan kesejahteraan
umat, zakat merupakan salah satu instrument pemerataan pendapatan. Dengan zakat
yang dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus
pemerataan pendapatan, atau yang dikenal dengan konsep economic growth with
equity. Monzer Kahf menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam
cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan bahwa sebagai akibat dari
zakat, harta akan selalu beredar.[8]
Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, dan pada saat
yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan
distribusi. Zakat juga merupakan institusi yang komprehensif untuk distribusi
harta, karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis, saat
hartanya telah sampai atau melewati nishab. Akumulasi harta di tangan
seseorang atau sekelompok orang kaya saja, secara tegas dilarang Allah SWT,
sebagaimana firman-Nya dalam QS. 59 :7. [9]Zakat,
di samping termasuk dalam kategori ibadah mahdlah, juga memiliki dimensi
sosial ekonomi.[10]
Dalam pembangunan masyarakat, zakat memiliki peranan yang sangat strategis. Begitu
pentingnya peranan zakat ini, sehingga sebagian masyarakat merasa memiliki tanggung
jawab untuk mengelola zakat ini. Karena itu, walaupun sudah ada UU yang mengaturnya
masih ada di kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa pengelolaan zakat tidak
mesti diatur oleh pemerintah atau UU. Pola-pola pendistribusian zakat pun juga
didasarkan oleh tanggung jawab ini.Berdasarkan asumsi tersebut dapat
digambarkan bahwa pola-pola pendistribuasian zakat, baik secara konsumtif
maupun produktif dipengaruhi oleh pemahaman para muzakki dan ‘amil tentang
zakat dan mustahiq.
Produktifitas dan
Pendayagunaan Harta Zakat
Mustahiq zakat atau orang yang berhak
menerima zakat harta benda (zakat maal) ada delapan asnaf (golongan)
yakni fakir, miskin, 'amil (petugas zakat), mualaf qulubuhum (orang
yang baru masuk Islam), riqab (orang yang telah memerdekakan budak
–zaman dulu), ghorim (orang yang berhutang), orang yang berjihad di
jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu sabil (yang dalam
perjalanan). Dari delapan asnaf itu, yang mesti didahulukan adalah
fakir dan miskin.
Biasanya fakir didefinisikan sebagai orang
yang tidak berpunya apa-apa, juga tidak bekerja alias pengangguran. Sementara
orang miskin adalah yang bisa mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya
tapi serba berkekurangan.
Umumnya zakat yang diberikan kepada mereka bersifat konsumtif, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini kurang begitu membantu mereka untuk
jangka panjang, karena uang atau barang kebutuhan sehari-hari yang telah
diberikan akan segera habis dan mereka akan kembali hidup dalam keadaan fakit
atau miskin. Nah, banyak sekali pendapat bahwa zakat yang disalurkan kepada dua
golongan ini dapat dapat bersifat “produktif”, yaitu untuk menambah atau
sebagai modal usaha mereka.
Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi di zaman
Rasulullah SAW. Dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim
Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah telah memberikan zakat
kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Disyaratkan bahwa yang berhak memberikat zakat yang bersifat
produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para
mustahiq agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Di samping
melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik dalam kegiatan
usahanya, juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya
agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keislamanannya.
Selain dalam bentuk zakat produktif, Syekh Yusuf al-Qardhawi, [11]dalam
bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat, menyatakan bahwa juga
diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang
zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya diperuntukkan bagi
kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka
sepanjang masa. Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat
digantikan lembaga-lembaga sakat atau badan amil zakat (BAZ).
Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyyah atau pembahasan masalah keagamaan
penting dalam Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir,
Krapyak, Yogyakarta, pada 25-28 November 1989 memberikan arahan bahwa dua hal
di atas diperbolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan ekonomi para
mustahiq zakat. Namun, ada persyaratan penting bahwa para calon mustahiq itu
sendiri sebelumnya harus mengetahui bahwa harta zakat yang sedianya mereka
terima akan disalurkan secara produktif atau didayagunakan dan mereka memberi
izin atas penyaluran zakat dengan cara seperti itu.
Pengambilan dalil antara lain dari Al-Majmu’ ‘ala Syarhil
Muhadzdzab, juz VI, hlm. 178. Bahwa tidak boleh bagi petugas penarik zakat
dan imam/penguasa untuk mengelola harta-harta zakat yang mereka peroleh kecuali
para calon penerima zakat telah setuju atau memberikan kuasa atas pengelolaan
zakat itu untuk mereka.
Para
ulama sangat berhati-hati kalau-kalau harta zakat itu tidak benar-benar
diketahui dan sampai kepada mustahiqnya. Dengan kata lain, para mustahiq
zakat harus tentukan terlebih dahulu dan kemudian ada kesepakatan
antara pengelola zakat dengan mereka, baru kemudian zakat bisa
disalurkan secara produktif atau didayagunakan untuk kepentingan para
mustahiqnya. Pendayagunaan
zakat produktif dilihat dalam beberapa prinsip. Pertama pada harta
terdapat illat (motif) produktivitas (al-nama’), karena zakat
ditinjau dari segi obyek zakat (mahaluuz zakah) lebih menekankan ibadah maaliyah
(harta) yang tentunya bersifat sosial.pengertia sifat produktivitas adalah
membawa keuntungan dan apabila tidak diproduktifkan, maka harta tersebut akan
punah disebabkan setiap tahunnya harta itu dikeluarkan/berkurang, berarti tidak
membawa berkah dengan menumbuhkembangkan kekayaan muzakki. Kedua, semua
hasil simber daya alam bernilai ekonomis serta berbagai pendapatan harus
dikenakan zakat. Nilai ekonomis ini menjadi ukuran bahwa harta zakatn itu dapat
diproduktifitaskan.
B.
Permasalahan
1. Bagaimana perhatian al-qur’an dalam
mengentaskan kemiskinan mustahiq ?
2. Bagaimana model pemberdayaan Mustahiq ?
C.
Pembahasan
1. Bagaimana perhatian al-qur’an dalam
mengentaskan kemiskinan ?
Al-qur’an sangat memperhatikan
masalah kemiskinan. Orang-orang beriman didorong untuk memberikan makan
orang-orang yang kelaparan dan juga agar selalu saling mengingatkan sesamanya
untuk menolong fakir miskin, sebagaimana dalam surah Al- Maa’un : 1-3.
Artinya: tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makanan orang miskin.
Begitu pula dalam
al-qur’an surah Al-Baqarah : 262. Artinya: Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah kemudian tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
sipenerima), mereka memperoleh pahala disisi
Tuhan mereka.
Juga dalam surah
Al-Baqarah ayat 245 yang artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak.
Qur’an Surah
Az-Dzariyaat :19 Artinya: “Dan pada
harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang yang miskin
tidak mendapat bagian.
Ayat al-qur’an
menegaskan agar menyantuni orang miskin serta mengharuskan juga untuk selalu
giat bekerja mencari rezki. Disamping
itu islam juga menegaskan pentingnya etos kerja dalam memacu potensi diri untuk
meningkatkan produktivitas diri. Sebagaimana dalam Al-qur’an surah saba’: 39
Artinya: “ Dan kami
jadikan tidurmu untuk istirahat, dan kami jadikan siang untuk mencari
penghidupan.
Adanya hak kepemilikan
dalam ekonomi islam menunjukkan bahwa ekonomi islam mengharuskan ummat Islam
mencari reziki agar setiap individu mempersiapkan diri untuk mempersiapkan
dirinya sebagaimana mestinya dan melindungi diri dari kemiskinan
2.
Model Pemberdayaan Mustahiq
A.
Pengembangan
Ekonomi
Dalam melakukan pengembangan ekonomi, ada beberapa
kegiatan yang dapat dilakukan oleh lembaga zakat:
a. Penyaluran modal
Penyaluran modal dapat
diberikan untuk perorangan maupun kelompok. Penyaluran modal dapat berbentuk
modal kerja ataupun investasi. Modal tak perlu kembali, karena zakat memang
diwajibkan membantu orang susah. Diharapkan bagi mustahik yang sudah
mendapatkan modal dan usahanya berkembang dapat berkontribusi kepada mustahik
lainnya agar penyaluran ini memberi multipler effect dalam mendorong kegiatan
ekonomi. Penyaluran modal untuk kelompok
lebih memudahkan lembaga zakat. Pada kelompok, pembinaan dan control lebih
dapat dilakukan. Lembaga zakat harus mendorong kelompok membetuk organisasi.
Organisasi ini dapat mengelola dana bantuan dan dana ini dapat berfungsi
sebagai revolving fund dalam organisasi
b. Pembentukan Lembaga Keuangan
Dalam penyaluran
bantuan untuk pengusaha mikro, lembaga zakat dapat mengembangkan lembaga
keuangan mikro syariah (LKMS). Lembaga zakat tak perlu lagi perlu terjun
mengurus langsung pengusaha gurem. Dengan LKMS lembaga zakat dapat mengontrol
pemberdayaan dengan lebih seksama. Ada target yang bisa diprediksi, ada laporan
yang bisa distandarisasi, serta adanya data yang dijadikan pola program
pemberdayaan
c. Pembangunan Industri
Penyaluran dana tidak
terbatas pada usaha mikro saja, tetapi dapat digunakan untuk kegiatan investasi
dengan mendirikan industri dan pabrikan. Investasi ini diharapkan dapat
menyerap tenaga kerja mustahiq yang sebelumnya sudah disiapkan kapasitas
SDM-nya sehingga dapat memenuhi standar persyaratan perusahaan
d. Penciptaan lapangan kerja
Diharapkan usaha yang
dibantu tetap menjaga SDM-nya karena adanya kesinambungan usaha bahkan
diharapkan jumlah dan kualitasnya terus meningkat.
e. Pembentukan organisasi
Pembnetukan organisasi
mustahiq dibutuhkan untuk memperkuat posisi, mengatasi persoalan keuangan,
mencarikan solusi permasalahan mereka, membesarkan skala usaha, memperluas
jaringan dan peningkatan kualitas.
3.
Pembinaan
SDM
a.
Program
Beasiswa
Program
beasiswa yang bertujuan untuk membantu mustahiq dalam meningkatkan pengembangan
diri (capacity building) untuk dapat melakukan perubahan diri.
b.
Diklat
dan kursus keterampilan
Bagi
mustahiq yang kurang semangat melanjutkan pendidikan maka jalur pelatihan
praktis cukup efektif bagi mustahiq
untuk menambah keahlian dan keterampilan sehingga dapat meningkatkan etos kerja.
c.
Membuat
lembaga pendidikan (sekolah)
Penyediaan
infra struktur pendidikan baik formal maupun non formal sangat penting untuk
menampung anak sekolah yang kurang mampu. Dengan memiliki sarana dan
prasarana pendidikan maka diharapkan
anak-anak sekolah yang kurang mampu dapat menikmati pendidikan dengan nyaman,
tenang dan sesuai standar. Ada beberapa
manfaat dari mengelola lembaga pendidikan secara formal yaitu;
-
Pengelola
pendidikan direkrut sesuai visi dan misi
yang dibutuhkan
-
Secara
otomatis lembaga pendidikan dibawa control lembaga
-
Guru-guru
direkrut sesuai standarisasi lembaga
-
Anak-anak
mustahiq berada dalam pengawasan lembaga
secara teratur
3.
Layanan
Sosial
Yang
dimaksud dengan layanan sosial adalah layanan yang diberikan kepada kalangan
mustahiq dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan mustahiq sangat beragam,
tergantung kondisi yang tengah dihadapi. Dari kebutuhan yang paling mendasar,
seperti kebutuhan makan, pengobatan,, bayar SPP dan tunggakannya, biaya
transport pulang kampong hingga bayar kontrakan dll.
D.
Kesimpulan
1.
Mustahiq
zakat atau orang yang berhak menerima zakat harta benda (zakat maal)
ada delapan asnaf (golongan) yakni fakir, miskin, 'amil (petugas
zakat), mualaf qulubuhum (orang yang baru masuk Islam), riqab (orang
yang telah memerdekakan budak –zaman dulu), ghorim (orang yang
berhutang), orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu
sabil (yang dalam perjalanan). Dari delapan asnaf itu, yang mesti
didahulukan adalah fakir dan miskin.
2.
Dalam
pemberdayaan mustahiq ada 3 (tiga) aspek yang perlu dikembangkan yaitu, pertama pengembangan ekonomi, kedua peningkatan SDM dan ketiga adalah layanan sosial
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, 1993.
Ali
Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan Bandung, 1994,
Al-Qurthubi,
Ahkam al-Quran, h. 113.
Abdurrahman Qadir. Zakat dalam
Dimensi Mahdhah dan Sosial, 1998. h. 85.
Ismail Al-Kahlani al-Shan’ani. Subulus-Salaam.
juz. 2, h. 120.
Qardhawi,
Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terjemahan, Jakarta, Gema
Insani,
1995.
Kahf,
Monzer, The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic
System,Canada:
t.tp, 1997
Qardhawi,
Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terjemahan, Jakarta, Gema
Insani,
1995
Qardhawi,
Yusuf.
Fiqh
Zakat. Beirut;
Muassasah Risalah, 1991.
Qadir,
Abdurrahman. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial. 1998.
Yafie,
Fiqh Sosial, h. 220.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar