Idris Parakkasi
Konsultan Ekonomi Syariah
A. Pendahuluan
Mustahiq zakat atau orang yang berhak
menerima zakat harta benda (zakat maal) ada delapan asnaf (golongan)
yakni fakir, miskin, 'amil (petugas zakat), mualaf qulubuhum (orang
yang baru masuk Islam), riqab (orang yang telah memerdekakan budak
–zaman dulu), ghorim (orang yang berhutang), orang yang berjihad di
jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu sabil (yang dalam
perjalanan). Dari delapan asnaf itu, yang mesti didahulukan adalah
fakir dan miskin.
Biasanya fakir didefinisikan sebagai orang
yang tidak berpunya apa-apa, juga tidak bekerja alias pengangguran. Sementara
orang miskin adalah yang bisa mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya
tapi serba berkekurangan.
Umumnya zakat yang diberikan kepada mereka bersifat konsumtif, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini kurang begitu membantu mereka untuk
jangka panjang, karena uang atau barang kebutuhan sehari-hari yang telah
diberikan akan segera habis dan mereka akan kembali hidup dalam keadaan fakit
atau miskin. Nah, banyak sekali pendapat bahwa zakat yang disalurkan kepada dua
golongan ini dapat dapat bersifat “produktif”, yaitu untuk menambah atau
sebagai modal usaha mereka.
Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi di zaman
Rasulullah SAW. Dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim
Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah telah memberikan zakat
kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Disyaratkan bahwa yang berhak memberikat zakat yang bersifat
produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para
mustahiq agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Di samping
melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik dalam kegiatan
usahanya, juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya
agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keislamanannya.
Selain dalam bentuk zakat produktif, Syekh Yusuf al-Qardhawi, [11]dalam
bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat, menyatakan bahwa juga
diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang
zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya diperuntukkan bagi
kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka
sepanjang masa. Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat
digantikan lembaga-lembaga sakat atau badan amil zakat (BAZ).
Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyyah atau pembahasan masalah keagamaan
penting dalam Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir,
Krapyak, Yogyakarta, pada 25-28 November 1989 memberikan arahan bahwa dua hal
di atas diperbolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan ekonomi para
mustahiq zakat. Namun, ada persyaratan penting bahwa para calon mustahiq itu
sendiri sebelumnya harus mengetahui bahwa harta zakat yang sedianya mereka
terima akan disalurkan secara produktif atau didayagunakan dan mereka memberi
izin atas penyaluran zakat dengan cara seperti itu.
Pengambilan dalil antara lain dari Al-Majmu’ ‘ala Syarhil
Muhadzdzab, juz VI, hlm. 178. Bahwa tidak boleh bagi petugas penarik zakat
dan imam/penguasa untuk mengelola harta-harta zakat yang mereka peroleh kecuali
para calon penerima zakat telah setuju atau memberikan kuasa atas pengelolaan
zakat itu untuk mereka.
Para
ulama sangat berhati-hati kalau-kalau harta zakat itu tidak benar-benar
diketahui dan sampai kepada mustahiqnya. Dengan kata lain, para mustahiq
zakat harus tentukan terlebih dahulu dan kemudian ada kesepakatan
antara pengelola zakat dengan mereka, baru kemudian zakat bisa
disalurkan secara produktif atau didayagunakan untuk kepentingan para
mustahiqnya. Pendayagunaan
zakat produktif dilihat dalam beberapa prinsip. Pertama pada harta
terdapat illat (motif) produktivitas (al-nama’), karena zakat
ditinjau dari segi obyek zakat (mahaluuz zakah) lebih menekankan ibadah maaliyah
(harta) yang tentunya bersifat sosial.pengertia sifat produktivitas adalah
membawa keuntungan dan apabila tidak diproduktifkan, maka harta tersebut akan
punah disebabkan setiap tahunnya harta itu dikeluarkan/berkurang, berarti tidak
membawa berkah dengan menumbuhkembangkan kekayaan muzakki. Kedua, semua
hasil simber daya alam bernilai ekonomis serta berbagai pendapatan harus
dikenakan zakat. Nilai ekonomis ini menjadi ukuran bahwa harta zakatn itu dapat
diproduktifitaskan.
B.
Permasalahan
1. Bagaimana perhatian al-qur’an dalam
mengentaskan kemiskinan mustahiq ?
2. Bagaimana model pemberdayaan Mustahiq ?
C.
Pembahasan
1. Bagaimana perhatian al-qur’an dalam
mengentaskan kemiskinan ?
Al-qur’an sangat memperhatikan
masalah kemiskinan. Orang-orang beriman didorong untuk memberikan makan
orang-orang yang kelaparan dan juga agar selalu saling mengingatkan sesamanya
untuk menolong fakir miskin, sebagaimana dalam surah Al- Maa’un : 1-3.
Artinya: tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makanan orang miskin.
Begitu pula dalam
al-qur’an surah Al-Baqarah : 262. Artinya: Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah kemudian tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
sipenerima), mereka memperoleh pahala disisi
Tuhan mereka.
Juga dalam surah
Al-Baqarah ayat 245 yang artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak.
Qur’an Surah
Az-Dzariyaat :19 Artinya: “Dan pada
harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang yang miskin
tidak mendapat bagian.
Ayat al-qur’an
menegaskan agar menyantuni orang miskin serta mengharuskan juga untuk selalu
giat bekerja mencari rezki. Disamping
itu islam juga menegaskan pentingnya etos kerja dalam memacu potensi diri untuk
meningkatkan produktivitas diri. Sebagaimana dalam Al-qur’an surah saba’: 39
Artinya: “ Dan kami
jadikan tidurmu untuk istirahat, dan kami jadikan siang untuk mencari
penghidupan.
Adanya hak kepemilikan
dalam ekonomi islam menunjukkan bahwa ekonomi islam mengharuskan ummat Islam
mencari reziki agar setiap individu mempersiapkan diri untuk mempersiapkan
dirinya sebagaimana mestinya dan melindungi diri dari kemiskinan
2.
Model Pemberdayaan Mustahiq
A.
Pengembangan
Ekonomi
Dalam melakukan pengembangan ekonomi, ada beberapa
kegiatan yang dapat dilakukan oleh lembaga zakat:
a. Penyaluran modal
Penyaluran modal dapat
diberikan untuk perorangan maupun kelompok. Penyaluran modal dapat berbentuk
modal kerja ataupun investasi. Modal tak perlu kembali, karena zakat memang
diwajibkan membantu orang susah. Diharapkan bagi mustahik yang sudah
mendapatkan modal dan usahanya berkembang dapat berkontribusi kepada mustahik
lainnya agar penyaluran ini memberi multipler effect dalam mendorong kegiatan
ekonomi. Penyaluran modal untuk kelompok
lebih memudahkan lembaga zakat. Pada kelompok, pembinaan dan control lebih
dapat dilakukan. Lembaga zakat harus mendorong kelompok membetuk organisasi.
Organisasi ini dapat mengelola dana bantuan dan dana ini dapat berfungsi
sebagai revolving fund dalam organisasi
b. Pembentukan Lembaga Keuangan
Dalam penyaluran
bantuan untuk pengusaha mikro, lembaga zakat dapat mengembangkan lembaga
keuangan mikro syariah (LKMS). Lembaga zakat tak perlu lagi perlu terjun
mengurus langsung pengusaha gurem. Dengan LKMS lembaga zakat dapat mengontrol
pemberdayaan dengan lebih seksama. Ada target yang bisa diprediksi, ada laporan
yang bisa distandarisasi, serta adanya data yang dijadikan pola program
pemberdayaan
c. Pembangunan Industri
Penyaluran dana tidak
terbatas pada usaha mikro saja, tetapi dapat digunakan untuk kegiatan investasi
dengan mendirikan industri dan pabrikan. Investasi ini diharapkan dapat
menyerap tenaga kerja mustahiq yang sebelumnya sudah disiapkan kapasitas
SDM-nya sehingga dapat memenuhi standar persyaratan perusahaan
d. Penciptaan lapangan kerja
Diharapkan usaha yang
dibantu tetap menjaga SDM-nya karena adanya kesinambungan usaha bahkan
diharapkan jumlah dan kualitasnya terus meningkat.
e. Pembentukan organisasi
Pembnetukan organisasi
mustahiq dibutuhkan untuk memperkuat posisi, mengatasi persoalan keuangan,
mencarikan solusi permasalahan mereka, membesarkan skala usaha, memperluas
jaringan dan peningkatan kualitas.
3.
Pembinaan
SDM
a.
Program
Beasiswa
Program
beasiswa yang bertujuan untuk membantu mustahiq dalam meningkatkan pengembangan
diri (capacity building) untuk dapat melakukan perubahan diri.
b.
Diklat
dan kursus keterampilan
Bagi
mustahiq yang kurang semangat melanjutkan pendidikan maka jalur pelatihan
praktis cukup efektif bagi mustahiq
untuk menambah keahlian dan keterampilan sehingga dapat meningkatkan etos kerja.
c.
Membuat
lembaga pendidikan (sekolah)
Penyediaan
infra struktur pendidikan baik formal maupun non formal sangat penting untuk
menampung anak sekolah yang kurang mampu. Dengan memiliki sarana dan
prasarana pendidikan maka diharapkan
anak-anak sekolah yang kurang mampu dapat menikmati pendidikan dengan nyaman,
tenang dan sesuai standar. Ada beberapa
manfaat dari mengelola lembaga pendidikan secara formal yaitu;
-
Pengelola
pendidikan direkrut sesuai visi dan misi
yang dibutuhkan
-
Secara
otomatis lembaga pendidikan dibawa control lembaga
-
Guru-guru
direkrut sesuai standarisasi lembaga
-
Anak-anak
mustahiq berada dalam pengawasan lembaga
secara teratur
3.
Layanan
Sosial
Yang
dimaksud dengan layanan sosial adalah layanan yang diberikan kepada kalangan
mustahiq dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan mustahiq sangat beragam,
tergantung kondisi yang tengah dihadapi. Dari kebutuhan yang paling mendasar,
seperti kebutuhan makan, pengobatan,, bayar SPP dan tunggakannya, biaya
transport pulang kampong hingga bayar kontrakan dll.
D.
Kesimpulan
1.
Mustahiq
zakat atau orang yang berhak menerima zakat harta benda (zakat maal)
ada delapan asnaf (golongan) yakni fakir, miskin, 'amil (petugas
zakat), mualaf qulubuhum (orang yang baru masuk Islam), riqab (orang
yang telah memerdekakan budak –zaman dulu), ghorim (orang yang
berhutang), orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu
sabil (yang dalam perjalanan). Dari delapan asnaf itu, yang mesti
didahulukan adalah fakir dan miskin.
2.
Dalam
pemberdayaan mustahiq ada 3 (tiga) aspek yang perlu dikembangkan yaitu, pertama pengembangan ekonomi, kedua peningkatan SDM dan ketiga adalah layanan sosial
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, 1993.
Ali
Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan Bandung, 1994,
Al-Qurthubi,
Ahkam al-Quran, h. 113.
Abdurrahman Qadir. Zakat dalam
Dimensi Mahdhah dan Sosial, 1998. h. 85.
Ismail Al-Kahlani al-Shan’ani. Subulus-Salaam.
juz. 2, h. 120.
Qardhawi,
Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terjemahan, Jakarta, Gema
Insani,
1995.
Kahf,
Monzer, The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic
System,Canada:
t.tp, 1997
Qardhawi,
Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terjemahan, Jakarta, Gema
Insani,
1995
Qardhawi,
Yusuf.
Fiqh
Zakat. Beirut;
Muassasah Risalah, 1991.
Qadir,
Abdurrahman. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial. 1998.
Yafie,
Fiqh Sosial, h. 220.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar