Sabtu, 09 Juni 2012

Pola Pemberdayaan Mustahiq









Oleh:
Idris Parakkasi
Konsultan Ekonomi Syariah





A.    Pendahuluan
           Zakat, sebagai rukun Islam yang ketiga, merupakan instrumen utama dalam ajaranIslam, yang berfungsi sebagai distributor aliran kekayaan dari tangan the have kepada the have not. Ia merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat ditingkatkan. Al-Qur’an dalam surat at-Taubah ayat 103 menjelaskan bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada golongan yang berhak menerimannya.Bagian yang tak terpisahkan dari zakat adalah muzakki, mustahiq dan ’amil. Muzakkiadalah seorang Muslim yang dibebani kewajiban mengeluarkan zakat disebabkan terdapat kemampuan harta setelah sampai nisab dan haulnya. Mustahiq adalah seorang Muslim yangberhak memperoleh bagian dari harta zakat disebabkan termasuk dalam salah satu 8 asnaf (golongan penerima zakat), yaitu fakir, miskin, ’amil, muallaf, untuk memerdekan budak,orang yang berutang, fi sabilillah, orang yang sedang dalam perjalanan. Sedangkan ’amil adalah badan atau lembaga yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dari muzakki danmendistribusikan harta zakat tersebut kepada para mustahiq. Di samping pada sisi yang lain’amil juga termasuk dari salah satu 8 asnaf di atas, sebagaimana terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 60.Peranan ’amil menjadi sangat penting, karena ia merupakan badan atau lembaga perantara antara muzakki dan mustahiq, walaupun pada prinsipnya muzakki dapat langsung menyerahkan zakatnya kepada mustahiq. Tetapi sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surah At-Taubah: 103 bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurthubi ketika menafsirkan ayat 60 surah at-Taubah menyatakan bahwa ‘amil itu adalah orang-orangyang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.[1] Pada awal diwajibkannya zakat pada masa Rasulullah SAW, pelaksanaan zakat ditangani sendiri oleh Rasul SAW. Beliau mengirim para petugasnya untuk menarik zakat dar orang-orang yang ditetapkan sebagai pembayar zakat, lalu dicatat, dikumpulkan, dijaga dan akhirnya dibagikan kepada para penerima zakat (al-asnaf al-samaniyyah).[2] Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.[3] Pernah pula mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat.[4] Muaz bin Jabal pernah diutus Rasulullah saw pergi ke Yaman, disamping bertugas sebagai da’i (menjelaskan ajaran Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat.[5] Demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur-rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang memiliki kewajiban berzakat) melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik, menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan), tetapi juga ia suatu kewajiban yang juga bersifat otoritatif (ijbari).[6] Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D / 291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat), akan tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat. Sistem distribusi zakat dapat dikategorikan kepada dua; secara konsumtif dan secara produktif. Secara konsumtif berarti harta zakat dibagikan langsung kepada mustahiq yang siap untuk dimanfaatkan secara konsumtif. Sementara harta zakat didistribusikan secara produktif berarti mustahiq tidak menerima harta zakat yang langsung dimanfaatkan untuk dikonsumsi, tetapi harus diusahakan terlebih dahulu, baik oleh mustahiq sendiri maupun oleh lembaga amil, yang dikonsumsi adalah hasil dari usaha tersebut. Zakat adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.[7] Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai Hadits Nabi, sehingga keberadaannya dianggap ma`lum minaddien bi adl-dlaurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari ke-  mensejajarkan shalat dan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata. Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrument pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, atau yang dikenal dengan konsep economic growth with equity. Monzer Kahf menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan bahwa sebagai akibat dari zakat, harta akan selalu beredar.[8] Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan institusi yang komprehensif untuk distribusi harta, karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis, saat hartanya telah sampai atau melewati nishab. Akumulasi harta di tangan seseorang atau sekelompok orang kaya saja, secara tegas dilarang Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam QS. 59 :7. [9]Zakat, di samping termasuk dalam kategori ibadah mahdlah, juga memiliki dimensi sosial ekonomi.[10] Dalam pembangunan masyarakat, zakat memiliki peranan yang sangat strategis. Begitu pentingnya peranan zakat ini, sehingga sebagian masyarakat merasa memiliki tanggung jawab untuk mengelola zakat ini. Karena itu, walaupun sudah ada UU yang mengaturnya masih ada di kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa pengelolaan zakat tidak mesti diatur oleh pemerintah atau UU. Pola-pola pendistribusian zakat pun juga didasarkan oleh tanggung jawab ini.Berdasarkan asumsi tersebut dapat digambarkan bahwa pola-pola pendistribuasian zakat, baik secara konsumtif maupun produktif dipengaruhi oleh pemahaman para muzakki dan ‘amil tentang zakat dan mustahiq.
Produktifitas dan Pendayagunaan Harta Zakat
Mustahiq zakat atau orang yang berhak menerima zakat harta benda (zakat maal) ada delapan asnaf (golongan) yakni fakir, miskin, 'amil (petugas zakat), mualaf qulubuhum (orang yang baru masuk Islam), riqab (orang yang telah memerdekakan budak –zaman dulu), ghorim (orang yang berhutang), orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu sabil (yang dalam perjalanan). Dari delapan asnaf itu, yang mesti didahulukan adalah fakir dan miskin.
Biasanya fakir didefinisikan sebagai orang yang tidak berpunya apa-apa, juga tidak bekerja alias pengangguran. Sementara orang miskin adalah yang bisa mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya tapi serba berkekurangan.
Umumnya zakat yang diberikan kepada mereka bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini kurang begitu membantu mereka untuk jangka panjang, karena uang atau barang kebutuhan sehari-hari yang telah diberikan akan segera habis dan mereka akan kembali hidup dalam keadaan fakit atau miskin. Nah, banyak sekali pendapat bahwa zakat yang disalurkan kepada dua golongan ini dapat dapat bersifat “produktif”, yaitu untuk menambah atau sebagai modal usaha mereka.
Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah telah memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Disyaratkan bahwa yang berhak memberikat zakat yang bersifat produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahiq agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Di samping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik dalam kegiatan usahanya, juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keislamanannya.
Selain dalam bentuk zakat produktif, Syekh Yusuf al-Qardhawi, [11]dalam bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat, menyatakan bahwa juga diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya diperuntukkan bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat digantikan lembaga-lembaga sakat atau badan amil zakat (BAZ).
Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyyah atau pembahasan masalah keagamaan penting dalam Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, pada 25-28 November 1989 memberikan arahan bahwa dua hal di atas diperbolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan ekonomi para mustahiq zakat. Namun, ada persyaratan penting bahwa para calon mustahiq itu sendiri sebelumnya harus mengetahui bahwa harta zakat yang sedianya mereka terima akan disalurkan secara produktif atau didayagunakan dan mereka memberi izin atas penyaluran zakat dengan cara seperti itu.
Pengambilan dalil antara lain dari Al-Majmu’ ‘ala Syarhil Muhadzdzab, juz VI, hlm. 178. Bahwa tidak boleh bagi petugas penarik zakat dan imam/penguasa untuk mengelola harta-harta zakat yang mereka peroleh kecuali para calon penerima zakat telah setuju atau memberikan kuasa atas pengelolaan zakat itu untuk mereka.
Para ulama sangat berhati-hati kalau-kalau harta zakat itu tidak benar-benar diketahui dan sampai kepada mustahiqnya. Dengan kata lain, para mustahiq zakat harus tentukan terlebih dahulu dan kemudian ada kesepakatan antara pengelola zakat dengan mereka, baru kemudian zakat bisa disalurkan secara produktif atau didayagunakan untuk kepentingan para mustahiqnya. Pendayagunaan zakat produktif dilihat dalam beberapa prinsip. Pertama pada harta terdapat illat (motif) produktivitas (al-nama’), karena zakat ditinjau dari segi obyek zakat (mahaluuz zakah) lebih menekankan ibadah maaliyah (harta) yang tentunya bersifat sosial.pengertia sifat produktivitas adalah membawa keuntungan dan apabila tidak diproduktifkan, maka harta tersebut akan punah disebabkan setiap tahunnya harta itu dikeluarkan/berkurang, berarti tidak membawa berkah dengan menumbuhkembangkan kekayaan muzakki. Kedua, semua hasil simber daya alam bernilai ekonomis serta berbagai pendapatan harus dikenakan zakat. Nilai ekonomis ini menjadi ukuran bahwa harta zakatn itu dapat diproduktifitaskan.

B.     Permasalahan
1.      Bagaimana perhatian al-qur’an dalam mengentaskan kemiskinan mustahiq ?
2.      Bagaimana model pemberdayaan Mustahiq ?

C. Pembahasan
1.      Bagaimana perhatian al-qur’an dalam mengentaskan kemiskinan ?
Al-qur’an sangat memperhatikan masalah kemiskinan. Orang-orang beriman didorong untuk memberikan makan orang-orang yang kelaparan dan juga agar selalu saling mengingatkan sesamanya untuk menolong fakir miskin, sebagaimana dalam surah Al- Maa’un : 1-3. Artinya:  tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin.
Begitu pula dalam al-qur’an surah Al-Baqarah : 262. Artinya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah kemudian tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan sipenerima), mereka memperoleh pahala disisi  Tuhan mereka.
Juga dalam surah Al-Baqarah ayat 245 yang artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
Qur’an Surah Az-Dzariyaat :19 Artinya:  “Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang yang miskin tidak mendapat bagian.
Ayat al-qur’an menegaskan agar menyantuni orang miskin serta mengharuskan juga untuk selalu giat bekerja  mencari rezki. Disamping itu islam juga menegaskan pentingnya etos kerja dalam memacu potensi diri untuk meningkatkan produktivitas diri. Sebagaimana dalam Al-qur’an surah saba’: 39
Artinya: “ Dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.
Adanya hak kepemilikan dalam ekonomi islam menunjukkan bahwa ekonomi islam mengharuskan ummat Islam mencari reziki agar setiap individu mempersiapkan diri untuk mempersiapkan dirinya sebagaimana mestinya dan melindungi diri dari kemiskinan
2.   Model Pemberdayaan Mustahiq
A.       Pengembangan Ekonomi
Dalam  melakukan pengembangan ekonomi, ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh lembaga zakat:
a.       Penyaluran modal
Penyaluran modal dapat diberikan untuk perorangan maupun kelompok. Penyaluran modal dapat berbentuk modal kerja ataupun investasi. Modal tak perlu kembali, karena zakat memang diwajibkan membantu orang susah. Diharapkan bagi mustahik yang sudah mendapatkan modal dan usahanya berkembang dapat berkontribusi kepada mustahik lainnya agar penyaluran ini memberi multipler effect dalam mendorong kegiatan ekonomi. Penyaluran modal  untuk kelompok lebih memudahkan lembaga zakat. Pada kelompok, pembinaan dan control lebih dapat dilakukan. Lembaga zakat harus mendorong kelompok membetuk organisasi. Organisasi ini dapat mengelola dana bantuan dan dana ini dapat berfungsi sebagai revolving fund dalam organisasi
b.      Pembentukan Lembaga Keuangan
Dalam penyaluran bantuan untuk pengusaha mikro, lembaga zakat dapat mengembangkan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS). Lembaga zakat tak perlu lagi perlu terjun mengurus langsung pengusaha gurem. Dengan LKMS lembaga zakat dapat mengontrol pemberdayaan dengan lebih seksama. Ada target yang bisa diprediksi, ada laporan yang bisa distandarisasi, serta adanya data yang dijadikan pola program pemberdayaan
c.       Pembangunan Industri
Penyaluran dana tidak terbatas pada usaha mikro saja, tetapi dapat digunakan untuk kegiatan investasi dengan mendirikan industri dan pabrikan. Investasi ini diharapkan dapat menyerap tenaga kerja mustahiq yang sebelumnya sudah disiapkan kapasitas SDM-nya sehingga dapat memenuhi standar persyaratan perusahaan
d.      Penciptaan lapangan kerja
Diharapkan usaha yang dibantu tetap menjaga SDM-nya karena adanya kesinambungan usaha bahkan diharapkan jumlah dan kualitasnya terus meningkat.
e.       Pembentukan organisasi
Pembnetukan organisasi mustahiq dibutuhkan untuk memperkuat posisi, mengatasi persoalan keuangan, mencarikan solusi permasalahan mereka, membesarkan skala usaha, memperluas jaringan dan peningkatan kualitas.
3.   Pembinaan SDM
a.       Program Beasiswa
Program beasiswa yang bertujuan untuk membantu mustahiq dalam meningkatkan pengembangan diri (capacity building) untuk dapat melakukan perubahan diri.
b.      Diklat dan kursus keterampilan
Bagi mustahiq yang kurang semangat melanjutkan pendidikan maka jalur pelatihan praktis cukup efektif bagi  mustahiq untuk menambah keahlian dan keterampilan sehingga dapat meningkatkan etos kerja.
c.       Membuat lembaga pendidikan (sekolah)
Penyediaan infra struktur pendidikan baik formal maupun non formal sangat penting untuk menampung anak sekolah yang kurang mampu. Dengan memiliki sarana dan prasarana  pendidikan maka diharapkan anak-anak sekolah yang kurang mampu dapat menikmati pendidikan dengan nyaman, tenang dan sesuai  standar. Ada beberapa manfaat dari mengelola lembaga pendidikan secara formal yaitu;
-          Pengelola pendidikan  direkrut sesuai visi dan misi yang dibutuhkan
-          Secara otomatis lembaga pendidikan dibawa control lembaga
-          Guru-guru direkrut sesuai  standarisasi lembaga
-          Anak-anak mustahiq berada dalam pengawasan lembaga  secara teratur
3.   Layanan Sosial
Yang dimaksud dengan layanan sosial adalah layanan yang diberikan kepada kalangan mustahiq dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan mustahiq sangat beragam, tergantung kondisi yang tengah dihadapi. Dari kebutuhan yang paling mendasar, seperti kebutuhan makan, pengobatan,, bayar SPP dan tunggakannya, biaya transport pulang kampong hingga bayar kontrakan dll.




D.    Kesimpulan
1.      Mustahiq zakat atau orang yang berhak menerima zakat harta benda (zakat maal) ada delapan asnaf (golongan) yakni fakir, miskin, 'amil (petugas zakat), mualaf qulubuhum (orang yang baru masuk Islam), riqab (orang yang telah memerdekakan budak –zaman dulu), ghorim (orang yang berhutang), orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu sabil (yang dalam perjalanan). Dari delapan asnaf itu, yang mesti didahulukan adalah fakir dan miskin.
2.      Dalam pemberdayaan mustahiq ada 3 (tiga) aspek yang perlu dikembangkan yaitu, pertama pengembangan ekonomi, kedua peningkatan SDM dan ketiga adalah layanan sosial













DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, 1993.

Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan Bandung, 1994,

Al-Qurthubi, Ahkam al-Quran, h. 113.

 Abdurrahman Qadir. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, 1998. h. 85.

 Ismail Al-Kahlani al-Shan’ani. Subulus-Salaam. juz. 2, h. 120.


Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terjemahan, Jakarta, Gema
Insani, 1995.

Kahf, Monzer, The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic
System,Canada: t.tp, 1997

Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terjemahan, Jakarta, Gema
Insani, 1995

Qardhawi, Yusuf. Fiqh Zakat. Beirut; Muassasah Risalah, 1991.


Qadir, Abdurrahman. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial. 1998.


Yafie, Fiqh Sosial, h. 220.




[1] Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, 1993. Jilid 7-8, h. 112-113.2
[2] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan Bandung, 1994, hlm 223
[3]Al-Qurthubi, Ahkam al-Quran, h. 113.
               [4]ibid, h. 113.
               [5]Ismail Al-Kahlani al-Shan’ani. Subulus-Salaam. juz. 2, h. 120.
               [6]Abdurrahman Qadir. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, 1998. h. 85.
[7] Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terjemahan, Jakarta, Gema Insani,
1995.
[8] Kahf, Monzer, The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic System,
Canada: t.tp, 1997
[9] Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terjemahan, Jakarta, Gema Insani, 1995
[10] Yafie, Fiqh Sosial, h. 220.


[11] Qardhawi, Yusuf. Fiqh Zakat. Beirut; Muassasah Risalah, 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar