Bank Syariah “Sudah Syariah – kah ” ?
Oleh: Idris Parakkasi
Konsultan Ekonomi Syariah
Pertumbuhan
industri perbankan syariah di Indonesia menunjukkan
trend yang terus meningkat semakin pesat, dan pada akhir September 2011 pertumbuhan aset mencapai 47.8% atau Rp 123.4 trilliun, tertinggi sejak tahun 2005. Pertumbuhan dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan pada waktu yang sama bahkan lebih pesat lagi, masing-masing mencapai 53.0% atau Rp 97.8 trilliun dan 52.3% atau Rp 92.8 trilliun, dengan FDR 95.7%. Sebagai perbandingan, pertumbuhan aset perbankan konvensional pada waktu yang sama mencapai 22.2%, atau Rp 3371.5 trilliun, dengan LDR 81.4%. meskipun pangsa pasar bank syariah (market share) baru sekitar 5 %. Tidak ada yang menyangka perbankan syariah bisa berkembang pesat seperti sekarang. Diawal ketika pertama kali bank Muamalat berdiri pada tahun 1992 tidak ada yang menganggap bank ini prospektif. Tak jarang tanggapan-tanggapan pesimis ditujukan kepada bank ini. Bagaimana mungkin bank beroperasi tanpa bunga dapat bersaing dan membiayai operasionalnya? Kira-kira seperti itulah tanggapan yang meragukan eksistensi bank yang “unik” itu. Hal ini bisa dimaklumi karena pada masa itu tidak ada regulasi yang mengatur sebuah bank beroperasi tanpa bunga. Di lain pihak sistem perbankan dengan bunga telah mengakar kuat dalam struktur perekonomian Indonesia dan dunia. Akan tetapi semua tanggapan-tanggapan miring berubah ketika terjadi krisis pada tahun 1997. Krisis moneter menyebabkan banyak bank konvensional dilikuidasi. Untuk mencegah terjadi kerusakan pada sistem perbankan nasional Bank Indonesia memberikan bantuan kepada bank yang beroperasi dengan sistem bunga dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ratusan triliun, sementara bank syariah tidak ada bantuan sedikitpun dan tetap suvive meskipun diterpa badai krisis. Dari momentum krisis tersebut bank syariah menjadi semakin diminati, bahkan semakin banyak dibicarakan dan dipraktekkan baik di Indonesia maupun di beberapa negara di dunia. Puncaknya terjadi pada bulan Oktober tahun 1998 dengan dikeluarkannya UU No. 10 tahun 1998 yang menegaskan bahwa Indonesia memakai dual banking system. Kinerja perbankan syariah juga terus mengalami trend meningkat dari tahun ke tahun. Fakta tersebut setidaknya mengindikasikan bahwa bank syariah telah menjadi sebuah kekuatan yang sangat potensial dan menjadi solusi ekonomi dimasa mendatang. Dengan segmentasi pasar mayoritas umat Islam dan kemampuan sistem perbankan Islam yang tangguh menjadi peluang besar bagi bank syariah untuk terus menghimpun kepercayaan masyarakat. Namun di saat yang bersamaan pula bank syariah memiliki tanggung jawab moral yang besar atas label “syariah” pada dirinya. Bank syariah tidak bisa mengatasnamakan syariah tetapi di sisi lain justru melakukan kegiatan perbankan yang tidak berlandaskan apa yang diinginkan dan digariskan oleh Islam. Apabila ini sampai terjadi maka akan berdampak pada kepercayaan masyarakat kepada perbankan syariah secara keseluruhan. Oleh karena itu pertanyaan yang muncul adalah sudah sejauh mana bank syariah berjalan menurut kaidah yang sesuai dengan Islam? Kita harus menyadari bersama bahwa bank syariah dan lembaga keuangan Islam lainnya terbentuk dengan cara mengkonversi praktek yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan mengganti dengan praktek yang sesuai ajaran Islam. Karena kaidahnya adalah bahwa asal muamalah adalah boleh selama tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Jadi lembaga-lembaga keuangan Islam yang ada sekarang ini baik pola bank maupun non bank belum sepenuhnya orisinil datang dari Islam. Maka yang terjadi pada saat ini adalah kecenderungan untuk sekedar menyesuaiakan apa yang ada dalam sistem konvensional dengan apa yang diinginkan dari sistem ekonomi Islam. Singkatnya sekedar “mensyariahkan yang konvensional”. Maka kita bisa melihat dimana institusi, instrumen, dan produk pada lembaga keuangan syariah masih sebagian besar merupakan inovasi turunan dari sistem konvensional. Akibatnya terbuka lebar peluang untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan syariah. Dengan begitu karakteristik dan cita-cita dari ekonomi Islam bisa tidak jelas dan mungkin tidak tercapai. Sehingga sebagian masyarakat masih menganggap bank syariah “sama saja” dengan bank konvensional, yang membedakan hanya nama dan istilah yang digunakan.
trend yang terus meningkat semakin pesat, dan pada akhir September 2011 pertumbuhan aset mencapai 47.8% atau Rp 123.4 trilliun, tertinggi sejak tahun 2005. Pertumbuhan dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan pada waktu yang sama bahkan lebih pesat lagi, masing-masing mencapai 53.0% atau Rp 97.8 trilliun dan 52.3% atau Rp 92.8 trilliun, dengan FDR 95.7%. Sebagai perbandingan, pertumbuhan aset perbankan konvensional pada waktu yang sama mencapai 22.2%, atau Rp 3371.5 trilliun, dengan LDR 81.4%. meskipun pangsa pasar bank syariah (market share) baru sekitar 5 %. Tidak ada yang menyangka perbankan syariah bisa berkembang pesat seperti sekarang. Diawal ketika pertama kali bank Muamalat berdiri pada tahun 1992 tidak ada yang menganggap bank ini prospektif. Tak jarang tanggapan-tanggapan pesimis ditujukan kepada bank ini. Bagaimana mungkin bank beroperasi tanpa bunga dapat bersaing dan membiayai operasionalnya? Kira-kira seperti itulah tanggapan yang meragukan eksistensi bank yang “unik” itu. Hal ini bisa dimaklumi karena pada masa itu tidak ada regulasi yang mengatur sebuah bank beroperasi tanpa bunga. Di lain pihak sistem perbankan dengan bunga telah mengakar kuat dalam struktur perekonomian Indonesia dan dunia. Akan tetapi semua tanggapan-tanggapan miring berubah ketika terjadi krisis pada tahun 1997. Krisis moneter menyebabkan banyak bank konvensional dilikuidasi. Untuk mencegah terjadi kerusakan pada sistem perbankan nasional Bank Indonesia memberikan bantuan kepada bank yang beroperasi dengan sistem bunga dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ratusan triliun, sementara bank syariah tidak ada bantuan sedikitpun dan tetap suvive meskipun diterpa badai krisis. Dari momentum krisis tersebut bank syariah menjadi semakin diminati, bahkan semakin banyak dibicarakan dan dipraktekkan baik di Indonesia maupun di beberapa negara di dunia. Puncaknya terjadi pada bulan Oktober tahun 1998 dengan dikeluarkannya UU No. 10 tahun 1998 yang menegaskan bahwa Indonesia memakai dual banking system. Kinerja perbankan syariah juga terus mengalami trend meningkat dari tahun ke tahun. Fakta tersebut setidaknya mengindikasikan bahwa bank syariah telah menjadi sebuah kekuatan yang sangat potensial dan menjadi solusi ekonomi dimasa mendatang. Dengan segmentasi pasar mayoritas umat Islam dan kemampuan sistem perbankan Islam yang tangguh menjadi peluang besar bagi bank syariah untuk terus menghimpun kepercayaan masyarakat. Namun di saat yang bersamaan pula bank syariah memiliki tanggung jawab moral yang besar atas label “syariah” pada dirinya. Bank syariah tidak bisa mengatasnamakan syariah tetapi di sisi lain justru melakukan kegiatan perbankan yang tidak berlandaskan apa yang diinginkan dan digariskan oleh Islam. Apabila ini sampai terjadi maka akan berdampak pada kepercayaan masyarakat kepada perbankan syariah secara keseluruhan. Oleh karena itu pertanyaan yang muncul adalah sudah sejauh mana bank syariah berjalan menurut kaidah yang sesuai dengan Islam? Kita harus menyadari bersama bahwa bank syariah dan lembaga keuangan Islam lainnya terbentuk dengan cara mengkonversi praktek yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan mengganti dengan praktek yang sesuai ajaran Islam. Karena kaidahnya adalah bahwa asal muamalah adalah boleh selama tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Jadi lembaga-lembaga keuangan Islam yang ada sekarang ini baik pola bank maupun non bank belum sepenuhnya orisinil datang dari Islam. Maka yang terjadi pada saat ini adalah kecenderungan untuk sekedar menyesuaiakan apa yang ada dalam sistem konvensional dengan apa yang diinginkan dari sistem ekonomi Islam. Singkatnya sekedar “mensyariahkan yang konvensional”. Maka kita bisa melihat dimana institusi, instrumen, dan produk pada lembaga keuangan syariah masih sebagian besar merupakan inovasi turunan dari sistem konvensional. Akibatnya terbuka lebar peluang untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan syariah. Dengan begitu karakteristik dan cita-cita dari ekonomi Islam bisa tidak jelas dan mungkin tidak tercapai. Sehingga sebagian masyarakat masih menganggap bank syariah “sama saja” dengan bank konvensional, yang membedakan hanya nama dan istilah yang digunakan.
Dalam
praktek operasional bank syariah setidaknya ada beberapa keluhan masyarakat
tentang “kesyariahan” bank syariah terutama yang terkait dengan produk, jenis
dan kelengkapan aqad, praktek pembiayaan dan kepuasan dalam pelayanan. Misalnya
dalam produk jual beli (murabahah) sebagai produk yang masih dominan di bank
syariah, kelengkapan rukun dan syarat
belum terpenuhi dengan baik. Praktek jual beli masih cenderung seperti pinjaman
uang dengan tambahan margin dari pinjaman, bukan sebagai harga jual barang
karena objeknya belum ada atau hanya pengakuan saja. Konsep bagi hasil yang
diterapkan belum sepenuhnya menerapkan transparansi dan keadilan dalam pendapatan maupun resiko baik untuk bank syariah
(sahibul maal) maupun nasabah (mudharib). Bahkan resiko sepenuhnya dibebankan
pada nasabah. Selain itu penjelasan prinsip-prinsip syariah tentang produk yang
dikeluarkan, misalnya aqad dan jenis tabungan,
produk jasa (Kartu kredit, ATM, gadai, valas dll) belum dipahami dengan baik, baik konsep dasarnya maupun dalam prkatek. Pembiayaan yang diberikan masih
kurang jelas dan kepastian objek yang dibiayai apakah tidak terkait dengan
transaksi riba, gharar, judi, risywah serta bisnis syubhat/ haram. Hal lain
yang paling penting adalah kepuasan nasabah dari sisi pelayanan dan kemudahan
transaksi. Pelayanan masih terkesan lambat dan bertele-tele khususnya terkait
dengan kecepatan dan ketepatan permohonan pembiayaan. Jaringan dan infra
struktur masih terbatas. Begitu pula
yang terkait dengan SDM, masih
rendahnya nilai-nilai Islam yang terkait dengan ahlak, semangat ibadah, cara berpakain, kemampuan personal baik dari sisi
keilmuan syariah maupun perbankan, serta
integritas diri yang belum matang.
Olehnya
itu seiring pertumbuhan dan perkembangan bank syariah maka predikat “syariah”
bank syariah harus terus dijaga, diperbaiki dan ditingkatkan untuk menjaga
citra bank syariah sebagai salah satu
instrumen sistem ekonomi Islam yang diharapkan menjadi kekuatan dan solusi
terhadap perekonomian Indonesia dan dunia global. Untuk mencapai itu ada
beberapa hal yang perlu di upayakan; pertama, memantapkan dan
mengawal fatwa-fatwa ulama (DSN) tentang
pelaksanaan aplikasi produk bank syariah baik tabungan, pembiayaan maupun jasa.
Kedua, menyiapkan SDM yang memiliki kualifikasi kemampuan pengetahuan
tentang fiqh muamalah, ilmu perbankan dan ahlak. Ketiga, meningkatkan
profesionalisme dalam pelayanan (sidiq, tabliq, amanah, fathonah). Keempat, membangun dan memantapkan infrastruktur serta
jaringan pelayanan kesemua lini masyarakat. Kelima, menyempurnakan dan
mendesain produk-produk yang berdaya saing. Keenam, pemanfaatan dan
penguasaan tehnologi informasi dalam kemudahan transaksi. Ketujuh,
membangun jaringan kerjasama (linkage) dengan seluruh stakeholder bank syariah
baik nasional maupun internasional. Kedelapan, Pemerintah membuat
regulasi undang-undang, dan aturan yang memudahkan percepatan dan perkembangan
bank syariah dari seluruh aspek. Kesembilan, sosialisasi yang intensif, promosi
yang meluas dan modern dengan tetap komitmen pada prinsip syariah. Wallahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar